Jika sudah begitu, persentase kerugian menjadi lebih besar daripada keuntungan. Walaupun, terkadang itu membuat pihak yang didemo menjadi lebih melek dan mau kooperatif antara kebijakan yang dibuat dengan dampak yang dirasakan orang banyak.
Meski begitu, kalau melihat orang pasca-demo mengalami luka-luka atau malah meninggal, yang sedih keluarganya. Kalau sampai mengalami kecacatan, yang rugi juga diri-sendiri dan orang yang bergantung pada masa depan orang tersebut.
Memang, orang bisa bangga, bahwa dirinya turut beraksi nyata demi orang banyak. Tetapi, hal semacam itu menjadi kian kurang relevan dengan keadaan saat ini.
Ditambah, aksi demo juga tidak jarang membuat fasilitas umum rusak. Jika begitu, pemerintah mengeluarkan anggaran lagi buat memperbaiki fasilitas umum tersebut. Lalu, yang rugi siapa?
Rakyat lagi. Terutama yang sudah menjadi pembayar pajak. Bayarnya rutin, tetapi pembangunannya masih di titik yang sama, alias tidak berkembang.
Itu yang membuat gerakan sosial di jalan dewasa ini menjadi tidak efektif. Apalagi, kalau sampai menjadi agenda rutin tiap tahun harus ada, maka itu juga sangat tidak masuk akal.
Baca juga: Menjadi Mahasiswa Haruskah Berdemonstrasi?
Lalu, bagaimana dengan sekarang?
Saat ini dan tentu sampai di masa depan, gerakan sosial akan cenderung berada di ranah digital atau di dunia maya. Tidak lagi harus turun ke jalan, melainkan cukup membuka akun media sosial masing-masing, kita bisa ikut andil dalam "agenda" gerakan sosial di dunia maya.
Itu yang kemudian menjadi tren,dan disebut juga sebagai gerakan pemuda di media sosial. Contoh gerakannya seperti ketika ada kasus pelecehan anak beberapa waktu lalu. Warganet (netizen) pun berbondong-bondong mengawal kasus itu dengan tagar #PercumaLaporPolisi.
Namun, melihat konteks-konteks yang tersebar di media sosial, saya pikir gerakan di media sosial seharusnya tidak hanya dialamatkan ke pemuda. Karena, yang aktif dan doyan bermedia sosial dewasa ini juga sudah menjalar ke kaum tua.