Sejak 2008, pembalap motor Indonesia sudah ada yang membalap reguler di arena Grand Prix dunia, yaitu Doni Tata Pradita. Dia berkompetisi di kelas 250cc.
Lalu, pada musim 2013, Doni Tata kembali ke kelas intermediate namun dengan regulasi dan level motor yang berbeda, yaitu Moto2. Tidak hanya DoTa, Indonesia juga diwakili oleh Rafid Topan Sucipto.
Namun, pembalap Indonesia mulai lebih rutin dipercaya untuk tampil di ajang Grand Prix sejak 2017. Dimulai dari kiprah Dimas Ekky Pratama yang pernah wildcard pada 2017 dan 2018.
Setelah itu, Dimas mendapat kepercayaan tampil semusim penuh bersama Astra Honda Racing Team--seinduk dengan Idemitsu Honda Team Asia--di musim 2019. Sayangnya, performanya kurang impresif dan harus diganti oleh Andi Farid Izdihar pada musim 2020.
Namun setelah semusim, Andi Gilang--sapaan akrabnya--harus diturunkan ke Moto3 dengan tetap di bawah naungan tim yang sama. Meski begitu, nasibnya terlihat lebih mujur, karena masih berada di Grand Prix, sedangkan Dimas akhirnya harus membalap di FIM CEV Moto2.
Apa yang dialami Andi sebenarnya dianggap tepat oleh mantan pembalap MotoGP, Hiroshi Aoyama. Menurutnya, menurunkan Andi ke Moto3 akan lebih baik untuk membuat pembalap bisa membangun mentalitasnya dari level yang paling memungkinkan untuk mencapai target minimal, yaitu bertarung di zona poin.
Selain itu, Andi masih beruntung berada di naungan Honda, yang masih mau memberikan kesempatan kepada pembalap Indonesia untuk bertarung di Grand Prix. Hal ini yang kemudian dirasakan oleh pembalap Indonesia selanjutnya, yaitu Mario Suryo Aji.
Meskipun masih berusia 17 tahun, namanya kian hari kian sering terdengar, terutama di kalangan penikmat balap motor dunia. Ini tidak lepas dari kiprahnya di FIM CEV Moto3 dan Red Bull Rookies Cup.
Terutama, di CEV Moto3, Mario Aji terlihat punya potensi bagus, karena dapat bertarung di zona papan atas di tiap balapan musim ini. Sekalipun belum pernah menjejak podium, Mario Aji mulai diperhitungkan.