Tulisan ini hadir setelah mendapatkan kabar duka tentang berpulangnya Gunawan Maryanto (6/10). Kabar yang tentu mengejutkan, namun beginilah hidup.
Ada yang datang, dan ada yang pergi.
Saya memang bukan penggemar GunMar, atau yang juga akrab dipanggil Cindil/Cindhil. Sebuah nama panggilan yang mengingatkan saya dengan sebutan nama 'anak tikus' dari Pepak Basa Jawa, yaitu cindhil. Saya tentu tidak tahu asal mula panggilan tersebut kepadanya.
Meski begitu, saya menaruh respek terhadap beliau, karena rekam jejak berkaryanya yang patut diacungi jempol. Jika harus menyebut sosok rujukan tentang seorang multitasker, Gunawan Maryanto adalah salah satunya.
Dia bisa menjadi sutradara teater, penulis naskah lakon--untuk pementasan teater, menulis puisi, dan bermain sebagai aktor. Tidak hanya bisa, beliau mengukuhkan kualitasnya dengan penghargaan.
Dua penghargaan yang bisa dikatakan sebagai pengukuh kemampuannya dalam dua bidang berbeda ada pada karya "Sejumlah Perkutut buat Bapak" (2010) dan "The Science of Fictions" (2020). Yang satu, karya puisi. Yang kedua, karya film yang dirinya didapuk sebagai pemeran utama.
Sebagai seorang sastrawan, penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa--sebelum 2014 bernama Khatulistiwa Literary Award--adalah pembuktian terhadap kualitas kesastraannya di Indonesia. Gunmar memperolehnya pada 2010 berkat kumpulan puisi yang terbitan pertamanya diterbitkan 'Omahsore'.
Kemudian, sebagai aktor film yang berawal dari panggung teater, dia berhasil membuktikan kualitasnya lewat film yang disutradarai Yosep Anggi Noen. Di film tersebut, Gunmar meraih aktor terbaik di Festival Film Indonesia 2020.