Semakin tinggi pohon, semakin besar terpaan angin yang dia hadapi. Semakin banyak bacaan yang dijangkau seseorang, semakin banyak fakta dan kemungkinan-kemungkinan yang harus dia terima dan dia pikirkan.
Dulu, ketika saya bersekolah, bacaan saya 80 persen masih dari buku di sekolah. Saat itu, internet baru tumbuh di Indonesia, dan tentu saja bagi kalangan menengah-bawah akan lebih tertinggal lagi dalam menjangkau segala informasi yang beredar.
Pengetahuan pun malah berasal dari televisi, yang sebagian besar juga tidak penting amat, karena membahas kehidupan selebriti. Buat apa?
Namun, seiring berjalannya waktu, saya berhasil memperbaiki jangkauan saya terhadap informasi. Termasuk isu-isu tentang di balik kemerdekaan Indonesia.
Bahkan, tidak hanya seputar prakemerdekaan, yang melibatkan figur-figur penting seperti Bung Karno, Bung Hatta, Mohammad Yamin, Jenderal Sudirman, Bung Tomo, dan sebagainya. Isu-isu tentang di balik kemerdekaan Indonesia juga menjangkau figur-figur era kerajaan di Nusantara.
Entah itu Hayam Wuruk, Sultan Agung, hingga Gajah Mada yang notabene dikenal dengan Sumpah Palapa.
Tentu, ada sisi baik dan buruk ketika saya mulai bisa menjangkau beragam informasi yang kemudian juga beragam sudut pandang. Sampai kemudian, muncul juga yang namanya propaganda kepahlawanan atau juga bisa disebut propaganda kemerdekaan.
Saya tentu masih dangkal tentang itu dibandingkan orang lain yang sudah mendapatkan asupan "nutrisi" lebih banyak. Saya juga cenderung menahan diri untuk tidak terlalu banyak menerima "nutrisi" jika ternyata tubuh (otak) saya belum waktunya membutuhkan itu, atau bisa juga disebut belum kuat.
Menurut saya, literasi seperti nutrisi. Kalau kurang dari kebutuhan, tidak baik. Kalau berlebihan juga tidak baik. Kok begitu?