Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Hasil Final Piala FA 2021: Yang Totalitas yang Menang

16 Mei 2021   05:16 Diperbarui: 16 Mei 2021   14:09 888
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tielemans berselebrasi atas gol spektakulernya. Sumber: Twitter/Leicester City

Final Piala FA musim 2020/21 telah digelar di Stadion Wembley, London (15/5). Pertandingan ini mempertemukan final "All Blues", yaitu Chelsea vs Leicester City.

Pertandingan berjalan seperti dugaan, bahwa Chelsea akan banyak menguasai bola dan berinisiatif. Sepintas terlihat seperti gaya main yang diperagakan Thomas Tuchel dengan PSG saat melawan Atalanta di Liga Champions 2019/20.

Leicester juga hampir mirip Atalanta yang berupaya menunggu momen untuk menyerang pertahanan lawan. Dalam praktiknya, para pemain Leicester memilih bertahan, namun dengan menempatkan pemain depan dan tengah melakukan tekanan ke pemain Chelsea.

Artinya, Leicester City bermain bertahan namun dengan garis pertahanan tinggi. Ini yang membuat pola membangun serangan Chelsea kurang rapi.

Permainan Chelsea terlihat bertumpu pada akselerasi pemain sayap, dan sesekali memanfaatkan kecepatan Timo Werner sebagai penyerang. Leicester City dengan manajernya, Brendan Rodgers terlihat tahu apa yang harus dilakukan untuk menghadapi pergerakan cepat Werner.

Formasi tiga bek terasa tepat, karena itu membuat Werner harus berhadapan dengan tiga bek. Dua diantaranya sering dihadapi Werner, yaitu Johny Evans dan Wesley Fofana.

Menjelang akhir babak pertama, baru Caglar Soyuncu terus berupaya membersihkan area kotak penalti dari serangan Chelsea di sisi kiri pertahanan timnya. Ini membuat serangan Chelsea sering buntu, karena formasi tiga bek lawan sangat disiplin.

Memang, ketika Evans ditarik keluar karena mengalami cedera, Chelsea terlihat mulai mendapatkan beberapa peluang. Namun, peluang-peluang itu menguap begitu saja, karena cara bertahan Leicester masih sangat ketat dan malah lebih agresif dibandingkan saat masih ada Evans.

Sedangkan, Chelsea terlihat boros terhadap peluang yang dimiliki. Akibatnya, Werner terlihat frustrasi.

Saat babak kedua berlangsung, ada harapan bahwa permainan Chelsea akan semakin agresif menyerang dan efektif. Namun, kenyataannya pola bermainnya hampir 11-12 dengan babak pertama, stagnan.

Sampai kemudian, para pemain Leicester mencium momen untuk dapat menciptakan peluang. Salah satu cara yang dapat dimanfaatkan untuk membuat atau mencari peluang adalah dengan bola-bola mati.

Skema ini sebenarnya mirip dengan babak pertama. Namun, uniknya, malah tingkat efektivitasnya menurun dibandingkan babak pertama.

Di babak pertama, momen bola mati terlihat menakutkan bagi Chelsea, karena ada Soyuncu yang terlihat berbahaya dalam menanduk bola di udara. Namun, di babak kedua, Leicester seperti kehilangan cara itu.

Mereka sempat terlihat seperti menghindari skema duel bola atas di dalam kotak penalti lawan. Namun, itu malah membuat Leicester seperti terlihat kehilangan konsep.

Sebenarnya, apa yang dimau Leicester?

Sebagai tim yang bermain bertahan biasanya akan berupaya memanfaatkan situasi bola mati untuk mendapatkan peluang. Tetapi, kalau mereka tidak mampu memanfaatkan situasi bola mati untuk mengreasikan peluang, itu adalah masalah besar dan menjadi tanda tanya.

Apakah berarti pertahanan Chelsea memang bagus, atau Leicester yang sedang berupaya mencari cara lain untuk mencetak gol?

Tanda tanya itu kemudian seperti dijawab dan bahkan dikejutkan dengan tendangan roket Youri Tielemans dari luar kotak penalti. Tendangannya berhasil meluncur deras menghujam pojok atas kanan gawang Kepa Arrizabalaga.

Tielemans berselebrasi atas gol spektakulernya. Sumber: Twitter/Leicester City
Tielemans berselebrasi atas gol spektakulernya. Sumber: Twitter/Leicester City
Skor 0-1 untuk Leicester. Gol itu kemudian seperti menyadarkan tentang apa yang mungkin diinginkan Leicester, yaitu adanya kelonggaran ruang di lini pertahanan Chelsea.

Dengan kelonggaran itu, ada peluang bagi pemain Leicester untuk dapat mencoba melakukan tendangan spekulatif. Mengingat penjaga gawangnya adalah Kepa, maka ada potensi bahwa tendangan yang akurat ke gawang Chelsea dapat berbuah gol.

Skema itu terbukti, walau itu bukan sepenuhnya karena ketidakmampuan Kepa menjangkau bola yang meluncur kencang. Itu sebenarnya juga tanggung jawab bek-bek atau pemain Chelsea lain yang tidak terlalu cepat menyadari adanya bahaya.

Para pemain Chelsea seperti tidak menyadari bahwa para pemain Leicester sedang memeragakan pertahanan garis tinggi. Artinya, apa pun bisa terjadi kalau pemain Leicester mampu mengefektifkan peluang terbatas yang dimiliki.

Sebagai tim yang bermain bertahan, efektivitas peluang adalah harga mati. Itulah mengapa, ketika mereka sempat terlihat menyia-nyiakan momen sepak pojok, itu terlihat kesalahan besar.

Beruntung, kesalahan itu dibayar lunas lewat gol Tielemans. Gol yang kemudian menaikkan tensi permainan, karena Chelsea tidak mungkin harus takluk dengan skor 0-1.

Pemain-pemain menyerang dimasukkan, seperti Christian Pulisic, Ben Chilwell, Kai Havertz, Callum Hudson-Odoi, hingga Olivier Giroud. Nama terakhir bahkan sempat terus disebut oleh komentator terkait rekam jejaknya di Piala FA dan pengalamannya dengan Arsenal.

Dia juga wajib hadir untuk memecah kebuntuan dengan mengubah skema permainan. Dari yang awalnya menyerang dari tengah dan memanfaatkan dinamisnya pertukaran tempat antarpemain, menjadi fokus dengan bola-bola silang dari sayap kanan--diisi Odoi--ke dalam kotak penalti.

Namun, strategi itu diantisipasi oleh Rodgers dengan memainkan Wes Morgan dan Hamza Choudhury. Dua pemain dengan postur tinggi yang mengindikasikan untuk siap bermain bola-bola atas.

Keheranan kemudian muncul, karena permainan Chelsea ternyata tidak sepenuhnya demikian. Entah, karena keberadaan banyak pemain Leicester yang sudah siap dengan strategi bola-bola atas dari Chelsea, atau karena para pemain Chelsea ingin improvisasi.

Itu yang membuat permainan Chelsea terlihat masih kurang mencerminkan strategi dengan umpan-umpan bola atas. Bola-bola yang dikuasai oleh Hudson-Odoi masih ada yang ditahan, alias tidak segera dilepaskan ke dalam kotak penalti.

Bahkan, pemain-pemain tengah Chelsea berusaha mengambil-alih peran Hudson-Odoi dalam membangun serangan. Bola-bola yang seharusnya dapat dimainkan Odoi dengan cara praktis, malah dikuasai oleh para pemain tengah yang seperti ingin bermain ball possession.

Bola yang terus ditekak-tekuk itu kemudian membuat pertahanan Leicester semakin rapat. Chelsea mulai kehilangan momentum.

Sampai kemudian ada momen mengejutkan dan sebenarnya bisa disebut pembuka mata bagi para pemain Chelsea sendiri tentang apa yang seharusnya mereka lakukan dari tadi. Gol penyama kedudukan tercipta lewat kekacauan di dalam kotak penalti Leicester City.

Penggemar Chelsea pun bersorak. Selebrasi tercipta. Sepertinya, ini akan menjadi kesempatan kedua bagi Chelsea untuk membuka peluang juara Piala FA.

Namun, sayangnya VAR meninjau ulang proses terjadinya gol tersebut. Hasilnya, gol dianulir karena terindikasi adanya offside.

Keputusan itu membuat Chelsea gagal meraih kesempatan untuk mengajak Leicester bermain hingga babak extra time. Mereka juga pada kenyataannya tidak melihat proses terjadinya gol itu sebagai penyadaran, bahwa itulah yang seharusnya mereka lakukan.

Di sisi lain, para pemain Leicester seperti tidak mau hal itu terjadi lagi. Mereka mulai bermain praktis dalam bertahan. Mereka tidak lagi hanya sekadar menaikkan lagi garis pertahanan, tetapi juga segera membuang bola sejauh mungkin.

Chelsea makin kesakitan dalam mengarungi sisa-sisa waktu. Tidak ada nafas sedikit lega untuk mereka di akhir 90 menit, karena skor 0-1 tetap bertahan sampai wasit meniup peluitnya.

Pesta juara akhirnya dirayakan oleh Leicester City. Sebuah kemenangan yang menggembirakan sekaligus mengharukan, karena mungkin para suporter yang datang ke Wembley ada di kondisi 50:50. Menang syukur, kalah juga sudah siap.

Perayaan gol semata wayang di final ini. Sumber: via En.as.com
Perayaan gol semata wayang di final ini. Sumber: via En.as.com
Lalu, apa yang membuat Chelsea bisa kalah dan Leicester City menang di final ini?

Faktor utamanya ada dalam penerapan strategi. Strategi yang digunakan Rodgers lebih jelas dibandingkan strategi yang diinginkan Thomas Tuchel.

The Foxes dari awal hingga akhir terlihat konsisten memeragakan permainan bertahan. Mereka hanya memainkan dua pola dalam skema demikian, yaitu dengan bertahan di garis tinggi dan bertahan di garis rendah.

Mereka menggunakan pola bertahan di garis tinggi sebagian besar di babak pertama. Kemudian, di babak kedua, mereka mengombinasikan pola bertahan garis tinggi dengan garis rendah.

Saat awal babak kedua, mereka masih terlihat menggunakan garis bertahan yang tinggi. Itu keputusan tepat, karena mereka juga perlu gol.

Ketika sudah berhasil mencetak gol dan melihat Chelsea keluar menyerang, mereka mulai menggunakan pola bertahan garis rendah. Namun, ketika hal itu ternyata malah berbahaya, mereka mulai mencoba bermain lebih praktis, yaitu dengan segera membuang bola sejauh mungkin.

Taktik itu didukung dengan keberadaan pemain di depan yang sesuai pola permainannya, yaitu Jamie Vardy. Vardy adalah pemain yang mahir dalam berduel satu lawan satu dan dalam situasi serangan balik.

Kecocokan antara taktik dengan karakteristik pemain di atas lapangan inilah yang bisa disebut sebagai totalitas.

Ini yang tidak terjadi pada The Blues. Mereka masih sering tertukar strategi ketika memainkan pemain-pemain yang memiliki karakteristik tertentu, dan ini tidak hanya terjadi pada laga ini.

Ketika Chelsea bermain dengan Werner sebagai striker, malah tidak jarang mereka berusaha mengreasikan peluang dengan situasi bola mati dan/atau bola-bola atas. Tetapi, ketika Chelsea bermain dengan Giroud sebagai striker, malah seperti sangat ingin menembus pertahanan lawan dari tengah bukan samping.

Tuchel sudah berupaya beradu strategi, tetapi eksekusinya yang kurang total (sesuai harapan). Sumber: AP Photo/via Bola.net
Tuchel sudah berupaya beradu strategi, tetapi eksekusinya yang kurang total (sesuai harapan). Sumber: AP Photo/via Bola.net
Selain itu, Chelsea dan bersama Thomas Tuchel cukup identik dengan gaya bermain praktis. Aliran bola cepat dan mengandalkan transisi pemain yang cair.

Namun, ketika mereka menghadapi tim yang bermain bertahan dan punya kualitas yang tepat untuk mengeksekusi strategi bermain pragmatis, mereka akan sangat keteteran. Ujung-ujungnya, mereka harus bermain dengan skema ball possession, yang malah menjadi titik lemah.

Karena, mereka menguasai bola tidak sepenuhnya dengan mengalirkan bola dari kaki ke kaki, melainkan dengan melakukan pergerakan individu. Artinya, penguasaan bola yang dilakukan Chelsea cenderung sangat bergantung pada kualitas pemainnya dalam menguasai bola, bukan kolektivitas.

Ini yang membuat ball possession yang diperagakan Chelsea berbeda dengan Manchester City. Ini pula yang membuat kekalahan Chelsea tidak terlalu disayangkan meski mereka bermain sebagai penguasa bola di laga ini.

Seandainya, Leicester City menang dengan mengalahkan Manchester City dan hanya dengan satu tendangan tepat sasaran, itu akan cukup disayangkan. Bahkan, bagi penonton netral. Karena, bisa saja permainan yang diperagakan Man. City lebih menarik ditonton daripada yang dilakukan para pemain Chelsea.

Namun, dengan melihat final ini, ada kemungkinan Chelsea dapat belajar dari kekalahan ini untuk menghadapi final Liga Champions. Memang, mereka akan menghadapi tim yang sangat berbeda dari Leicester City. Tetapi, bisa saja Man. City juga memeragakan permainan yang sedikit pragmatis untuk mengecoh taktik Thomas Tuchel.

Sedangkan, bagi Leicester City, hasil ini adalah hadiah bagus untuk mereka. Gelar yang bisa memacu semangat mereka untuk menjadi lebih serius lagi sebagai klub pemburu gelar di musim depan.

Jadi, selamat buat Leicester!

Statistik pertandingan final Piala FA 2021, Chelsea vs Leicester City (15/5). Sumber: Google/FACup
Statistik pertandingan final Piala FA 2021, Chelsea vs Leicester City (15/5). Sumber: Google/FACup
Malang, 16 Mei 2021
Deddy Husein S.

Terkait: Kompas.com, Bola.net, dan En.as.com.
Baca juga: Benarkah Kasus di Old Trafford Murni ESL dan Glazzers?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun