Namun, sayangnya VARÂ meninjau ulang proses terjadinya gol tersebut. Hasilnya, gol dianulir karena terindikasi adanya offside.
Keputusan itu membuat Chelsea gagal meraih kesempatan untuk mengajak Leicester bermain hingga babak extra time. Mereka juga pada kenyataannya tidak melihat proses terjadinya gol itu sebagai penyadaran, bahwa itulah yang seharusnya mereka lakukan.
Di sisi lain, para pemain Leicester seperti tidak mau hal itu terjadi lagi. Mereka mulai bermain praktis dalam bertahan. Mereka tidak lagi hanya sekadar menaikkan lagi garis pertahanan, tetapi juga segera membuang bola sejauh mungkin.
Chelsea makin kesakitan dalam mengarungi sisa-sisa waktu. Tidak ada nafas sedikit lega untuk mereka di akhir 90 menit, karena skor 0-1 tetap bertahan sampai wasit meniup peluitnya.
Pesta juara akhirnya dirayakan oleh Leicester City. Sebuah kemenangan yang menggembirakan sekaligus mengharukan, karena mungkin para suporter yang datang ke Wembley ada di kondisi 50:50. Menang syukur, kalah juga sudah siap.
Faktor utamanya ada dalam penerapan strategi. Strategi yang digunakan Rodgers lebih jelas dibandingkan strategi yang diinginkan Thomas Tuchel.
The Foxes dari awal hingga akhir terlihat konsisten memeragakan permainan bertahan. Mereka hanya memainkan dua pola dalam skema demikian, yaitu dengan bertahan di garis tinggi dan bertahan di garis rendah.
Mereka menggunakan pola bertahan di garis tinggi sebagian besar di babak pertama. Kemudian, di babak kedua, mereka mengombinasikan pola bertahan garis tinggi dengan garis rendah.
Saat awal babak kedua, mereka masih terlihat menggunakan garis bertahan yang tinggi. Itu keputusan tepat, karena mereka juga perlu gol.
Ketika sudah berhasil mencetak gol dan melihat Chelsea keluar menyerang, mereka mulai menggunakan pola bertahan garis rendah. Namun, ketika hal itu ternyata malah berbahaya, mereka mulai mencoba bermain lebih praktis, yaitu dengan segera membuang bola sejauh mungkin.