"Kalau puasamu lancar, THR-mu juga lancar."
Sewaktu kecil saya pernah mendengar sebuah ungkapan motivasi seperti yang tertulis di atas. Mendengar ungkapan itu, saya merasa tergugah untuk mau dan bersemangat puasa.
Walaupun benar juga kalau puasa saat itu masih belum sepenuh orang dewasa. Awalnya saya berpuasa hanya sampai Zuhur. Sempat juga saya seperti berpuasa sampai pukul 10.00 pagi sebagai latihan berpuasa.
Ketika sudah merasa biasa dengan "puasa beduk". Saya meningkatkan waktu ke puasa Asar. Di lingkungan saya, Zuhur sering disebut beduk.
Mungkin karena hanya saat akan Zuhur, suara beduk yang dipukul terasa lebih kencang terdengar. Atau, mungkin karena beduk yang terdengar di teriknya hari terasa seperti momen sangat penting bagi semua orang yang sedang giat bekerja sejenak beristirahat.
Kebetulan, di lingkungan saya nyaris setiap tahun ada orang yang merenovasi rumahnya. Jadi, istilah beduk familier di telinga saya karena itu petanda para kuli dan tukang untuk mengaso.
Istilah itu juga kemudian digunakan untuk menandai tahap awal berpuasa anak-anak, termasuk saya. Menurut saya, puasa beduk memang ideal bagi anak-anak untuk belajar berpuasa.
Pada level anak-anak, mereka memang masih sangat aktif. Bahkan, mereka masih suka berlari ketika hendak mencapai satu tempat. Padahal, tidak disuruh lari.
Puasa beduk juga untuk mulai membiasakan anak mengenal titik maksimalnya menahan lapar dan dahaga. Kalau puasanya masih sampai pukul 10.00 untuk anak yang sudah bersekolah SD, terasa tanggung.
Memang, pada pukul 10.00 pagi anak sudah terbiasa dengan aktivitas beristirahat pascabelajar di kelas. Tetapi, belum tentu anak memang mengalami kelelahan. Bisa saja karena faktor kebiasaan makan saat pukul 10.00 pagi.