*
"Yah, aku terkejut dengan latihan hari ini."
"Bukankah, waktu itu kau menginginkannya?"
"Aku bahkan hampir melupakannya."
"Kau masih punya tekad."
"Bagaimana Ayah tahu?"
"Kau hanya kebobolan 15, sedangkan temanmu kebobolan 25."
"Apakah itu sesuai target?"
"Tidak. Tapi, sesuai dengan gairahmu."
*
"Yah, aku sampai sekarang tidak mengerti. Kenapa Ayah akhirnya membiarkanku menjadi kiper sampai saat ini?"
"Karena kemampuanmu sudah membaur dengan tekad. Jika kau hanya bermodal keinginan dan ketidakmampuan bermain bola, aku akan mengirimmu ke kursus komputer."
"Ternyata Ayah juga bisa melucu."
"Padahal, aku serius."
"Terima kasih, Yah. Aku senang Ayah melatihku dengan keras."
"Kau saja yang berpikir begitu. Kalau aku menganggap porsi latihanmu hanya bersenang-senang. Coba bandingkan dengan latihanmu di akademi. Beda, kan?"
"Iya. Berbeda. Tapi, di sana aku sudah menjadi kiper. Dan, terkadang aku membayangkan untuk menjadi gelandang dan mengeksekusi tendangan bebas."
"Lain kali, lakukan itu. Karena, aku juga sering kesal melihat rekanmu sering menendangnya seperti kiper zaman dulu."
*
"Yah, anakku sepertinya punya kemampuan menjadi kiper. Tetapi, dia ingin menjadi striker."
"Memang, zaman sekarang fokus media jejaring ke sana. Dia terlalu banyak menonton cuplikan-cuplikan video yang menyorot proses terjadinya gol."
"Lalu, apa yang harus kulakukan?"
"Latihlah dia seperti kiper, tetapi dengan cara yang kaupahami."
"Aku tidak punya filosofi."
"Begini, aku dulu melatihmu untuk berlari kuat sebelum melompat. Sekarang, kau melatihnya untuk melompat sebelum menyundul bola. Apa kaupaham?"
***