Bahkan, eksistensi ilustrator juga tidak lepas dari keberadaan komikus yang tentunya identik dengan kemampuannya menggambar dan mengilustrasikan sebuah cerita. Lewat itu, maka buku-buku semacam novel, puisi, dan cerpen, juga takkalah butuh keberadaan ilustrasi yang dapat menunjang, entah di dalam buku atau di sampul buku.
Kita bisa menemukan contohnya pada buku kumpulan cerpen "Lelucon Para Koruptor" karya Agus Noor, "Bu Guru Cantik" karya Hasta Indriyana, hingga "Wisanggeni: Sang Buronan" karya Seno Gumira Ajidarma.
Melihat betapa lekatnya hubungan ilustrator dengan buku yang artinya juga terkait dengan penerbit, maka nasib ilustrator juga bisa disebut bergantung pada situasi dapur penerbit. Jika penerbit minim setoran karya tulis seperti fiksi dan nonfiksi, maka mereka juga tidak mampu memberdayakan ilustrator.
Begitu juga jika penerbit sedang dihadapkan pada situasi pandemi. Adanya peraturan ketat terhadap protokol kesehatan tidak hanya berlaku pada mobilitas manusia, tapi juga pada mobilitas barang.
Imbasnya, pendistribusian buku/karya cetak sempat mengalami kendala. Ini juga membuat kaum ilustrator yang memang bergantung pada pergerakan di dapur penerbit tidak mendapatkan kepastian, khususnya terhadap pemasukan.
Saat pandemi, uang itu hampir menjadi sesuatu yang langka, khususnya bagi orang-orang yang bidang pekerjaannya tidak familier. Apalagi, ketika orang-orang tersebut juga tidak terikat dengan instansi. Semakin merana.
Itulah mengapa, akhirnya keberadaan Kartu Prakerja juga dapat dimanfaatkan oleh kaum ilustrator, khususnya bagi mereka yang memang tidak terikat oleh instansi, alias pekerja lepas (freelancer).Â
Dengan adanya Kartu Prakerja, ada kemungkinan mereka dapat menggunakannya untuk melamar kerja di instansi-instansi yang mapan dan sanggup memberdayakannya dengan tepat.
Ketika ilustrator berhasil lolos seleksi untuk mengikuti program Kartu Prakerja, maka ada poin penting yang perlu dilakukan saat mengikuti prosesnya.
Poin pertama adalah jujur. Ketika menggambarkan kondisi kehidupannya dan keluarganya, pihak peserta perlu jujur. Tidak perlu ditutupi, juga tidak perlu dilebih-lebihkan (hiperbolis).
Jujur ini juga perlu dilakukan ketika sedang mengikuti program. Artinya, jika keterampilannya sampai 'C', itulah yang perlu ditunjukkan.