Sebenarnya menulis tentang Paolo Rossi seperti menulis tentang sok tahunya saya tentang Paolo Rossi. Itulah mengapa, saya tidak akan banyak menulis tentang Paolo Rossi.
Awalnya, saya juga meragukan apakah ibu saya--yang sering saya jadikan acuan mengenal pesepak bola lama--mengenal Paolo Rossi. Karena, pada 1982 yang mana merupakan tahun keemasannya Rossi di jagat sepak bola dunia, saat itu pula ibu saya masih sekolah.
Saya menduga bahwa dirinya akan lebih mengenal nama-nama hebat seperti Arnold Schwarzeneger, Sylvester Stallone, atau Rhoma Irama dan Barry Prima. Tetapi, ibu saya ternyata cukup tahu tentang Paolo Rossi. Bahkan, dirinya mengingatkan saya jika dirinya juga suka dengan Timnas Italia.
Perihal kesukaannya dengan Timnas Italia, saya memang tidak meragukannya. Tetapi, bagaimana dengan Rossi?
Menurut saya sehebat-hebatnya Rossi kala itu, belum tentu bisa menjangkau jagat penggemar sepak bola segala kalangan, khususnya perempuan di Indonesia seperti ibu saya. Apalagi, kalau masih remaja.
Tetapi, akhirnya saya memilih menerima saja obrolan singkat dengan ibu saya terkait Rossi. Karena, ketika membaca pesan online dari ibu saya terkait meninggalnya Rossi, saya berpikir bahwa belasungkawa tidak selalu harus karena saling mengenal.
Saya pun sudah pernah merasakan momen ditinggal pergi untuk selamanya. Bahkan, saya sempat sakit sekitar seminggu karena hal itu.
Dari situlah saya mulai mencoba mencari tahu tentang Paolo Rossi, yang ternyata merupakan mantan rekan seklub Michel Platini di Juventus. Kalau Platini, saya tahu, walau sebagian besar karena dia pernah menjadi orang penting di UEFA.
Setidaknya, saya dapat menilai bagaimana rekam jejaknya untuk sepak bola, walau lebih secara implisit. Tidak seperti saya mengenal Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo yang masih jelas dapat ditonton permainan aktualnya.
Namun, perhatian saya terhadap Paolo Rossi semakin besar ketika ada berita terkait rumahnya yang kemalingan. Itulah yang mendorong saya untuk menulis artikel ini.