Tentang apakah kita merasakannya secara langsung atau tidak, itu bukan poin pentingnya. Poin terpentingnya adalah anggap saja apa yang ada di negara ini milik kita, meski kita tak merasakannya secara langsung.
Bahkan pemikiran ini juga seharusnya ada ketika sebagian besar dari kita adalah pembayar pajak. Atau jika di antara kita masih menjadi orang kos-kosan, maka anggap saja jika kita merusak apa yang ada di kos, yang rugi juga kita.
Memang, saat menjadi mahasiswa ketidaknyamanan seringkali muncul. Seperti contohnya UKT tinggi, proses birokrasi yang lama, atau bimbingan skripsi yang tidak seimbang/tidak adil, dan sebagainya.
Namun, tidak semua permasalahan tersebut harus diselesaikan dengan demonstrasi. Saya secara pribadi juga sering dihadapkan pada kekhawatiran tentang hal-hal tersebut, tetapi saya pikir penyelesaiannya tidak harus dengan demonstrasi walau tentu saya menemukan rekan-rekan senasib--demo kebanyakan dimotori oleh kesamaan nasib.
Bagi saya, semua masalah pasti ada di mana-mana. Tetapi saya pikir semua masalah itu bisa dihadapi dengan tindakan dan waktu.
Terserah tindakannya akan seperti apa, yang penting tindakan itu bisa menyelesaikan permasalahan tersebut. Begitu pun dengan waktu. Biarkan waktu memberikan kesempatan bagi kita untuk menyelesaikan permasalahan dengan step by step.
Prosesnya memang akan lama, tetapi waktu pasti akan memberikan jawabannya. Sama halnya ketika melihat ragam kebijakan. Tidak semua kebijakan itu perlu dihadapi dengan demonstrasi, karena seiring berjalannya waktu pasti akan terkuak juga apa dampak--positif dan negatif--dari kebijakan itu.
Ketika sudah menjadi mahasiswa, yang nantinya dibutuhkan adalah kemampuan. Karena itulah yang akan menggiring mahasiswa dapat menghadapi kompleksnya kehidupan.
Keberanian dan kemampuan sebenarnya sangat vital untuk dimiliki mahasiswa. Namun, jika disuruh memilih, saya akan lebih memilih untuk memiliki kemampuan daripada keberanian. Karena jika saya memiliki kemampuan, pada saatnya pasti akan berani melakukan sesuatu.