Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Segar Pilihan

Salahkah Rebahan Kala Ramadan?

10 Mei 2020   20:03 Diperbarui: 10 Mei 2020   19:59 682
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara pribadi, saya salah satu orang yang suka dengan materi pelajaran penjaskes. Apalagi kalau sudah masuk ke sesi praktik. Pasti akan saya ikuti dengan antusias.

Walaupun saya tahu bahwa kemampuan saya berolahraga tak begitu bagus, namun saya menyukainya. Apalagi kalau sudah bersangkutan dengan permainan seperti sepak bola dan kasti.

Ya, pernahkah kalian bermain kasti?

Saya tidak tahu apakah permainan kasti masih diajarkan kepada adik-adik di mata pelajaran penjaskes atau tidak. Terakhir saya memainkannya adalah ketika SMP. Kala itu bermain di area dalam Stadion Rejoagung.

Di sekitar pepohonan itu biasanya digunakan untuk berolahraga anak-anak sekolah. | Gambar: Koranmemo.com/
Di sekitar pepohonan itu biasanya digunakan untuk berolahraga anak-anak sekolah. | Gambar: Koranmemo.com/
Di salah satu sisi yang luas, karena Stadion Rejoagung masih menggunakan bentuk stadion klasik yang menyediakan arena atletik, saya memainkan kasti walau tak semenantang saat SD. Bermain kasti di area luas justru kurang memotivasi saya untuk menghempaskan bola, baik ke atas maupun sejajar.

Saat bola mengarah ke atas, paling menarik adalah ketika bola itu bisa melampaui atap gedung sekolah, yang kala itu masih satu lantai. Sedangkan mengarahkan bola sejajar, hanya untuk membuat bola sejauh mungkin agar sulit dijangkau. Bukan untuk mengenai wajah teman ya! Hehe.

Saat-saat semacam itu saya lalui dengan aktivitas berolahraga secara beramai-ramai, sampai tentunya SMA. Ketika itu saya mulai melihat teman-teman yang kesusahan berolahraga, karena bobot badan hingga yang masih berkaitan dengan bobot badan.

Faktor lain juga ada. Tetapi saya hanya menyoroti faktor berat badan.

Jujur saja, saya tidak pernah mengalami fase gemuk sejak saya sudah memasuki fase sekolah hingga detik ini. Apa alasannya? Apakah karena saya malas berolahraga? Atau, karena malas makan?

Pertanyaan ketiga bagi saya tidak logis. Karena, sebagai orang yang cukup suka berolahraga pasti nafsu makan cukup baik. Makan banyak pun bukan sesuatu yang tidak pernah saya lakukan.

Namun yang menjadi alasan terbesar adalah karena kebiasaan saya. Setiap hari saya selalu menghabiskan pasokan energi saya untuk berjalan kaki. Sejak saya pindah SD sampai saat ini saya selalu berjalan kaki ketika menjangkau tempat untuk mengenyam ilmu pendidikan.

Tentu, ini bukan menjadi suatu ironi. Karena saya juga telanjur menyukainya. Mungkin saat SD atau SMP saya masih merasa sedih, karena harus rutin berjalan minimal 2 km (pp) untuk bersekolah.

Belum lagi jika saat penjaskes, materinya adalah marathon. Habis sudah pasokan kalori saya bukan?

Ditambah dengan fakta, bahwa saya jarang sarapan. Karena bagi saya sarapan cukup membuang waktu. Bukankah saya harus berjalan bahkan berlari kecil demi cepat sampai? Berapa waktu yang akan saya buang?

Tentu hal ini tak akan mendorong saya untuk sengaja terlambat sampai ke sekolah, karena jelas akan dinasehati oleh guru jika saya terlambat. "Menyiapkan diri lebih pagi, biar tidak telat", kira-kira begitu.

Sampai kemudian, saya sekarang seringkali menemukan rasa iba dari orang lain jika mengetahui saya jalan kaki. Memang, faktor ekonomi melandasinya saat dulu bersekolah. Namun sekarang, banyak faktor yang membuat saya masih suka berjalan kaki, apalagi jika "hanya" 1 km. Ketjil!

Berjalan kaki bagi saya menguatkan persendian pada kaki. Melatih fleksibilitas tubuh--tapi bukan untuk menjadi manusia karet, sampai memiliki detak jantung yang stabil. Sebagai orang yang gampang membayangkan sesuatu, saya cenderung sering deg-degan ketika membayangkan hal-hal yang menakutkan.

Melihat tiga fungsi itu, saya cenderung ikhlas untuk berjalan kaki, walau harus sampai ke tempat tujuan dengan keringat membasahi dahi dan tangan. Tetapi demi kebutuhan tubuh, saya mau melakukannya.

Dari kebiasaan inilah, tubuh saya sekali lagi tak pernah gemuk. Bagaimana bisa gemuk jika setelah makan malah digunakan untuk berjalan minimal 200 meter? Belum lagi jika harus menemukan jalan yang tidak rata, saya tentu butuh kekuatan dan kebiasaan untuk melaluinya.

Jalanan yang biasanya saya lalui ketika hendak ke kampus. | Gambar: Dokpri/DeddyHS
Jalanan yang biasanya saya lalui ketika hendak ke kampus. | Gambar: Dokpri/DeddyHS
Inilah yang membuat saya merasa bahwa olahraga tidak harus seperti yang disarankan instruktur olahraga. Melalui kebiasaan hidup, itu juga bisa disebut berolahraga. Apakah berjalan kaki adalah olahraga?

Tentu saja. Bahkan, saya secara pribadi tak setuju jika berjalan hanya dianggap olahraga ringan. Karena yang dimaksud berolahraga dengan berjalan kaki adalah berjalan dengan jarak tempuh yang tak dekat. Minimal 100 m bolak-balik dengan kecepatan tertentu, alias tidak dengan melenggak-lenggok.

Jika seperti itu, olahraga jalan kaki juga cukup untuk membakar kalori di dalam tubuh yang biasanya berlebih. Namun, sayangnya bagi saya kebutuhan kalori sepertinya tak pernah berlebih.

Itulah mengapa ketika berada di momen Ramadan seperti saat ini saya tak menyarankan pembaca untuk berolahraga ala saya. Wong saya memang tidak sedang berolahraga.

Pernah jalan kaki di sekitaran Surabaya saat hendak mencari ojol di tepi jalan besar. | Gambar: Dokpri/DeddyHS
Pernah jalan kaki di sekitaran Surabaya saat hendak mencari ojol di tepi jalan besar. | Gambar: Dokpri/DeddyHS
Secara pribadi saya sedang berupaya menimbun lemak. Loh, mengapa? Karena dengan memiliki lemak yang cukup alias sesuai target, saya punya bahan bakar penunjang lain untuk membentuk tubuh saya.

Mumpung masih berusia 20-an tahun, saya tentu ingin terlihat berotot seperti Deddy Corbuzier. Namun, untuk menjadi seperti beliau ataupun orang lain, saya tentu harus punya lemak yang dibakar dan menjadi gumpalan-gumpalan otot.

Jika tidak, hasilnya seperti yang sudah saya miliki selama ini. Hanya memiliki sedikit otot dan banyak urat. Bagi saya pribadi itu belum menarik. Karena, semua orang yang melihat saya pasti berceletuk, "kurus!"

Itulah yang membuat saya memilih rebahan. Di saat orang lain ingin berolahraga agar kurus, walau dibungkus dengan misi sehat, saya lebih memilih rebahan. Karena bagi saya, itu yang saya butuhkan.

Baca juga: Mengenali Tubuh Sendiri untuk Mengobatinya

Seperti yang pernah saya tulis di artikel sebelumnya, bahwa untuk menjadi sehat, kenali kelemahan dan kelebihan pada tubuh. Artinya, dalam berolahraga juga harus mengenali kebutuhan tubuh.

Jangan mentang-mentang sedang booming pilates, kita ikutan pilates. Lagi booming zumba, kita ikutan kelas zumba. Bereksplorasi memang bagus, tapi jika tidak dibarengi dengan kebutuhan, percuma.

Karena jika tubuh kalian gemuk, level berolahraga kalian tak cukup dengan berjalan kaki. Angkat beban dan berpuasa itulah yang tepat. Begitu pula jika tubuh kalian kurus, tidak mungkin bisa menjadi besar atau berotot hanya dengan fitness, jika tidak dibarengi asupan makanan yang tepat dan istirahat yang cukup.

Nah, istirahat yang cukup inilah yang biasanya paling terabaikan. Apalagi bagi yang sudah dilanda jadwal padat. Berolahraga saja tak cukup, karena pola makan dan istirahat juga perlu dicukupi.

Saya pun demikian. Memanfaatkan momen rebahan sebagai quality time untuk istirahat. Meski jamnya tak begitu ideal. Tapi yang penting mata butuh istirahat. Tubuh butuh istirahat. Apalagi kepala, sangat butuh istirahat.

Ilustrasi rebahan yang penting untuk merelaksasi pikiran. | Gambar: Tribunnews.com
Ilustrasi rebahan yang penting untuk merelaksasi pikiran. | Gambar: Tribunnews.com
Jika tidak, kepala yang stress akan membentuk tubuh menjadi tak menentu. Bagi sebagian besar orang, mereka semakin gemuk ketika stress. Bagi saya, justru sebaliknya.

Itulah mengapa saya dengan sukacita memilih untuk rebahan dibandingkan memaksa tubuh saya untuk berolahraga seperti orang lain. Berolahraga sebenarnya memang masih saya lakukan, tetapi biarkan itu sebagai konsumsi saya. Mungkin suatu saat baru saya bagikan.

Nah, bagaimana? Ada yang tidak puas membaca artikel ini karena tidak menemukan tips berolahraga ala penikmat bola?

Tidak ada. Jadi, silakan tarik selimut, dan selamat tidur!

Malang, 10-5-2020
Deddy Husein S.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Segar Selengkapnya
Lihat Segar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun