Awalnya, penulis tidak tahu tentang "Red Bull" Depok FC. Mungkin karena penulis (sangat) tidak aktif di media sosial (kecuali Youtube dan WhatsApp), membuat informasi tentang hal tersebut terlambat mampir ke dapur kepala.
Beruntung melalui media sosial yang disebut pertama, penulis masih bisa menyelamatkan diri dari kekudetan tersebut. Akhirnya, penulis mengetahui adanya kabar itu dan mencoba mendengarkan secara seksama apa yang dibahas oleh salah satu channel besar di Indonesia yang fokus membahas tentang sepak bola.
Terkuaklah bahwa keberadaan klub baru itu dengan nama yang sedemikian rupa, dikarenakan pertimbangan pemilihan nama dan terinspirasi dari pola pembangunan dan pengembangan klub-klub di luar negeri yang kebetulan ditunjang oleh perusahaan bernama Red Bull (RB). Seperti RB Salzburg (Austria), RB Leipzig (Jerman), dan New York Red Bull (AS).
Berarti ada dua alasan yang dapat menjadi (sedikit) latar belakang terbentuknya nama klub tersebut. Dari situlah penulis akan membahasnya, satu per satu, namun dimulai dari perihal terinspirasi.
Mengapa?
Karena setiap ada langkah ataupun perwujudan, pasti diawali dengan apa yang telah mendorongnya untuk ada. Artinya, harus ada inspirasi. Soal ide yang murni itu hanya pembelaan dari para pelaku di dunia kreatif agar tingkat orisinalitas mereka tidak diragukan.
Padahal, setiap hal yang ada di kehidupan dewasa ini, kebanyakan adalah hasil inovasi dari inspirasi. Sulit--bukan berarti mustahil--untuk menemukan kreasi baru, karena usia kehidupan manusia (peradaban) sudah semakin tua.
Ditambah dengan semakin canggihnya teknologi masa kini, maka lebih memudahkan kita untuk menggali sejarah dan mencoba menirunya serta mengambil apa yang pernah terjadi untuk diadaptasikan ke masa kini dengan berbagai perkembangan.
Hal ini juga tentu berlaku di bidang sepak bola. Sepak bola sudah ada sangat lama, dan semakin ke sini kreativitas kita mulai terbatas dalam mengembangkan sepak bola itu menjadi tampilan yang sepenuhnya baru.
Artinya, kita kini tinggal mengandalkan inovasi. Penggodokan inspirasi untuk menjadi ide atau juga imajinasi lalu diinterpretasikan melalui modal pengetahuan yang aktual, dan jadilah bentuk yang seolah baru namun sebenarnya tidak 100% baru.
Itulah mengapa, ketika muncul nama Red Bull Depok FC (dengan sangat berat hati menulisnya tanpa ada tanda petik) penulis menganggap hal itu sebenarnya wajar. Tidak masalah terinspirasi oleh keberhasilan para klub bola yang menyandang RB tersebut.
Namun, sudah tepatkah cara mereka?
Untuk menjawabnya, kita perlu melaju langsung ke alasan kedua, yaitu pemilihan nama. Hal ini mengingatkan penulis secara pribadi terhadap materi Blogshop yang diberikan oleh Kompasiana melalui Mbak Widha Karina tempo hari (link di akhir ulasan). Semoga nyambung, ya!
Singkatnya, pada materi itu para penulis konten di Kompasiana diingatkan pada satu hal yang sangat penting ketika berkecimpung di dunia yang anggap saja ini dunia kreatif, yaitu hak cipta. Baik itu plagiasi tulisan (konten utama) maupun pada pelampiran gambar (konten penunjang).
Ketika kita tidak mampu menulis dengan presentase opini dan analisis (jika mampu) yang dominan, maka hal itu berbahaya. Karena kadar orisinalitas tulisan kita akan dipertanyakan. Bahkan, bisa saja dihanguskan dari peredaran.
Itu pilihan terbaik, daripada kita dijatuhi sanksi atau denda karena kita telah melanggar hak cipta. Hal ini juga berlaku pada pencantuman gambar. Kita tak lagi hanya belajar mencantumkan sumber (wadah), namun juga mencantumkan penghasil dari gambar tersebut (fotografer/ilustratornya).
Lagi-lagi karena hak cipta. Anggaplah jika kita sendiri yang sudah capek-capek memotret realitas di sawah seperti Mbah Ukik (Kompasianer) untuk menjadi konten utama maupun penunjangnya.
Tentu bukan langkah bijak jika suatu waktu kita--dengan terpaksa--mengambil gambar dari Mbah Ukik untuk menjadi ilustrasi tulisan kita tanpa pencantuman sumber pemilik ataupun wadahnya. Apalagi jika hanya ditulis "dari Google". Wah, parah!
Inilah yang kemudian mengantarkan kita pada pemahaman yang pasti terhadap hak cipta. Untuk apa kepolisian cyber memburu dan menghapus banyak situs download dan streaming film ilegal jika itu bukan karena untuk penyelamatan hak cipta. Dan, itu berlaku pula di sepak bola.
Rasanya tidak bijak jika kita melihat industri populer seperti sepak bola disisipi kasus pelanggaran hak cipta. Karena, banyak mata yang pasti akan memandang sepak bola, meski tidak semuanya suka, alih-alih paham tentang sepak bola.
Artinya, sepak bola adalah industri yang mudah diketahui oleh banyak orang. Satu saja kesalahan yang terjadi pada sendi yang ada di sepak bola, media massa--apalagi media sosial--pasti akan dengan mudah mengeksploitasinya.
Begitu pula jika sendi-sendi yang ada di sepak bola terdapat kabar-kabar positif. Maka, kabar itu juga akan sampai ke masyarakat. Bahkan, meski Indonesia sangat menggantungkan prestasi olahraganya terhadap badminton, tetap saja yang paling rela mati pasti suporter bola.
Buktinya, tidak ada yang bisa menyaingi tajuk kerusuhan suporter sepak bola di Indonesia dari tahun ke tahun. Paling mentok yang terdapat riak-riaknya ada di futsal ataupun basket. Itu pun tak begitu masif seperti dampak dari kerusuhan suporter sepak bola.
Melihat ilustrasi semacam ini, akan terasa aneh jika penggagas "Red Bull" Depok FC ini memilih nama sedemikian rupa, jika dirinya paham betul tentang hak cipta. Begitu pula jika dirinya orang yang dekat dengan wilayah ibu kota.
Seharusnya dia belajar dari kasus hak paten yang dipertaruhkan oleh salah seorang selebriti papan atas, Ruben Onsu ketika dirinya ingin membuat Bensu adalah brand miliknya (baca di sini). Ranahnya hukum, loh!
Dan, itu masih "hanya" lingkup Indonesia. Bagaimana jika kali ini persinggungannya adalah dengan dunia internasional? Bisa bayar pengacara yang mampu menangkan pertarungan di meja persidangan internasional?
Memang, ada dua kemungkinan yang dapat mengiringi perjalanan klub yang kabarnya akan bermarkas di Depok tersebut. Pertama, mereka akan menanggalkan Red Bull ketika mereka berhasil mengakuisisi klub yang sudah menjadi peserta Liga 3 Indonesia.
Kedua, mereka berhasil meyakinkan pihak Red Bull langsung yang merupakan perusahaan minuman berenergi dari Austria itu untuk menjadi sponsornya. Jika hal yang kedua ini berhasil, maka apa yang dilakukan klub tersebut akan sangat membanggakan Indonesia.
Ditambah jika mereka pada akhirnya memang mampu berprestasi dengan langkah sistematis dan faktor teknis. Maka, kabar tentang mereka akan patut menjadi headline di berbagai media massa hingga ke ranah internasional.
Namun, bagaimana jika mereka memilih yang pertama? Itu tentu tidak masalah. Bahkan, lebih baik melakukannya jika opsi kedua gagal terealisasi, dan pastinya mau mengklarifikasi tujuan dari penggunaan nama tersebut yang sedang viral saat ini.
Selain itu, mereka juga harus meminta maaf agar mereka bebas dari jeratan hukum tentang hak cipta. Mereka juga harus mengimbau masyarakat untuk tidak mencoba melakukan hal yang sama jika pada akhirnya itu justru menjadi kerugian di kemudian hari.
Tindakan semacam ini tentu harus dilakukan agar mereka tidak membuat masyarakat melakukan hal yang sama. Karena, sekali lagi, mereka ada di bidang yang sangat populer di masyarakat Indonesia.
Jika kehidupan yang ada di Kompasiana saja pernah menjadi headline di berbagai media massa karena terdapat kasus yang dihadapi oleh salah seorang kompasianernya. Maka, hal itu juga sangat mudah terjadi pada pihak-pihak yang ada di sepak bola.
Tentu masyarakat Indonesia tidak menginginkan negaranya menjadi bahan olok-olok dengan meme di media massa dan media sosial karena kemunculan si "Red Bull" Depok FC ini. Harapannya, kita bisa memajukan negeri ini dengan pemahaman tentang "Laws of the Game" di bidang apapun termasuk sepak bola dengan rajin-rajinlah membaca.
Jangan sampai inspirasi yang diperoleh langsung diaplikasikan secara mentah atau hanya diedit sedikit saja. Jika hal semacam itu sering dilakukan dan dimaklumi, maka para pemuisi di Kompasiana juga tidak perlu lagi berpeluh-peluh dalam menghasilkan puisi-puisi khasnya masing-masing.
Cukup dengan menyadur saja karya-karya para pemuisi besar, beres kan?
Begitu pula dengan keberadaan klub tersebut. Apa mereka tidak bisa hanya meniru metode pembangunan klub seperti RB Salzburg dan Leipzig tanpa harus mengambil logo dan namanya?
Wong, mereka yang secara sah diakuisisi oleh Red Bull saja tetap dikenal atau disebut dengan Salzburg dan Leipzig. Bukan dengan embel-embel Red Bull. Karena perlu diketahui, masyarakat di Jerman saja sebenarnya tak suka dengan keberadaan Leipzig karena faktor Red Bull-nya (baca detilnya di sini).
Lha, kita kok malah bangga menggunakan sebuah identitas yang belum jelas keabsahannya. Apakah ini hanya demi menarik minat masyarakat untuk mengulik dan memviralkannya?
Eh, termasuk penulis juga yang akhirnya ikut memviralkannya. Ini juga karena faktor sok profesional, membuat penulis harus menuliskan kabar ini. Sekaligus, mencoba mengingatkan bahwa, kita harus belajar menghargai karya orang lain.
Apabila memang sangat ingin setara seperti yang dihasilkan orang lain, mengapa tidak untuk mengajaknya berkolaborasi? Bukankah itu akan lebih menarik? Sambil belajar, kita juga akan pasti memperoleh "tebengan" dari sang inspirator tersebut.
Jadi, akankah RED BULL DEPOK FC akan membanggakan kita atau malah memalukan kita di kemudian hari?
Atau, mereka hanya ingin memberikan bahan meme kepada netizen maha kreatif di segala penjuru bumi?
Hm.., mari kita lihat!
Malang, 16 April 2020
Deddy Husein S.
Tambahan:
Link video yang sempat membahas klub viral.
Link Blogshop Kompasiana.
Berita terkait:
Goal.com, Depok.pikiran-rakyat.com, Indosport.com, Viva.co.id.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H