Itulah mengapa, ketika muncul nama Red Bull Depok FC (dengan sangat berat hati menulisnya tanpa ada tanda petik) penulis menganggap hal itu sebenarnya wajar. Tidak masalah terinspirasi oleh keberhasilan para klub bola yang menyandang RB tersebut.
Namun, sudah tepatkah cara mereka?
Untuk menjawabnya, kita perlu melaju langsung ke alasan kedua, yaitu pemilihan nama. Hal ini mengingatkan penulis secara pribadi terhadap materi Blogshop yang diberikan oleh Kompasiana melalui Mbak Widha Karina tempo hari (link di akhir ulasan). Semoga nyambung, ya!
Singkatnya, pada materi itu para penulis konten di Kompasiana diingatkan pada satu hal yang sangat penting ketika berkecimpung di dunia yang anggap saja ini dunia kreatif, yaitu hak cipta. Baik itu plagiasi tulisan (konten utama) maupun pada pelampiran gambar (konten penunjang).
Ketika kita tidak mampu menulis dengan presentase opini dan analisis (jika mampu) yang dominan, maka hal itu berbahaya. Karena kadar orisinalitas tulisan kita akan dipertanyakan. Bahkan, bisa saja dihanguskan dari peredaran.
Itu pilihan terbaik, daripada kita dijatuhi sanksi atau denda karena kita telah melanggar hak cipta. Hal ini juga berlaku pada pencantuman gambar. Kita tak lagi hanya belajar mencantumkan sumber (wadah), namun juga mencantumkan penghasil dari gambar tersebut (fotografer/ilustratornya).
Lagi-lagi karena hak cipta. Anggaplah jika kita sendiri yang sudah capek-capek memotret realitas di sawah seperti Mbah Ukik (Kompasianer) untuk menjadi konten utama maupun penunjangnya.
Tentu bukan langkah bijak jika suatu waktu kita--dengan terpaksa--mengambil gambar dari Mbah Ukik untuk menjadi ilustrasi tulisan kita tanpa pencantuman sumber pemilik ataupun wadahnya. Apalagi jika hanya ditulis "dari Google". Wah, parah!
Inilah yang kemudian mengantarkan kita pada pemahaman yang pasti terhadap hak cipta. Untuk apa kepolisian cyber memburu dan menghapus banyak situs download dan streaming film ilegal jika itu bukan karena untuk penyelamatan hak cipta. Dan, itu berlaku pula di sepak bola.
Rasanya tidak bijak jika kita melihat industri populer seperti sepak bola disisipi kasus pelanggaran hak cipta. Karena, banyak mata yang pasti akan memandang sepak bola, meski tidak semuanya suka, alih-alih paham tentang sepak bola.
Artinya, sepak bola adalah industri yang mudah diketahui oleh banyak orang. Satu saja kesalahan yang terjadi pada sendi yang ada di sepak bola, media massa--apalagi media sosial--pasti akan dengan mudah mengeksploitasinya.