"Kamu apa tidak bosan, selalu di sini dan menunggunya?"
"Jika kamu tak tahan, pergilah! Aku tak apa-apa di sini."
Memang beginilah hidupku saat ini. Selalu berada di tempat yang sama dan pada waktu yang sama. Ini karena dia. Lebih tepatnya karena aku terlanjur mencintainya saat malam itu tiba. Entah mengapa, aku begitu menyukainya hingga kata-kata penuh rasa langsung kukirim ke arahnya.
Dia tentu tak menolak. Namun juga tak segera menerima lamaranku.
"Tunggulah aku di sini tepat pada saat matahari mulai mengantuk namun belum sepenuhnya tidur. Jika dia telah pergi, kamu juga harus pulang."
Akhirnya dengan segala gelap cintaku dan hanya kamu yang kuanggap penerangku, maka kulakukan itu keesokannya. Esoknya lagi, ketika aku tak kunjung berjumpa denganmu. Terus kulakukan sampai waktu terasa sudah kembali saat pertama aku berjumpa denganmu.
Lalu, kapan aku bisa bertemu denganmu? Sungguh tak ada yang menjawab. Buat apa? Mereka hanya bisa memandangku dengan sinis, seolah menertawakan kebodohanku. Apakah menunggumu adalah kesalahan? Apakah menuruti pesanmu adalah kebutaan?
Aku sungguh masih ingin menunggumu, meski aku tak tahu apakah petangku habis dan sayapku akhirnya menipis, busuk, dan entah ke mana. Inilah suratku untukmu yang kutitipkan pada sehelai daun di bunga yang juga kesepian ini. Apakah kamu akhirnya hinggap dan membacanya?
Malang, 13-15 Maret 2020
Deddy Husein S.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H