Contoh paling viral yang bisa kita singgung adalah pelaku kejahatan seksual di Inggris (RS). Siapa yang sanggup berpikir bahwa orang yang biasanya mengunggah feeds yang menarik, ternyata memiliki perbedaan orientasi hingga melakukan tindakan kriminal seksual seperti itu?
Situasi semacam itu sebenarnya juga dapat terjadi pada aktivitas di dunia nyata. Seperti ketika kita asal komen terhadap kehidupan tetangga kita hanya berdasarkan tingkat keaktifannya di agenda kemasyarakatan (PKK, Karang Taruna, dll). Padahal bisa saja di luar itu si tetangga memiliki banyak "cerita".
Karena asal menilai berdasarkan apa yang dilihat tanpa ada upaya memikirkannya terlebih dahulu, alih-alih berani melakukan cross-check, membuat kita cenderung nyablak. Padahal apa fungsi kepala kita, jika apa yang kita ungkap tidak pernah melalui proses berpikir.
Setidaknya kita sudah mampu berandai-andai, namun 45% sudah berani didasari oleh penilaian secara objektif. Bagaimana cara melihatnya?
Lihatlah bagaimana seseorang berargumentasi, jika kita benar-benar menghadapi "sesi penilaian" secara langsung. Apabila orang tersebut berani menyinggung persepsi orang lain, maka dia juga telah melakukan pertimbangan---baik pro maupun kontra. Pertimbangan ini adalah salah satu bukti dari upaya berpikir.
Jika penilaian itu berbentuk tidak langsung, maka kita bisa melihatnya dengan referensi. Jika memang secara tertulis, maka referensinya pasti akan tertera dalam bentuk tulisan maupun tautan. Begitu pula jika itu berbentuk non-tulisan, pasti akan ada sematan referensi ataupun credit title terhadap apa yang sudah dihasilkan (penilaian).
Pengakuan adalah bentuk selanjutnya dari adanya proses berpikir. Jika kita bisa mengakui kehebatan orang lain pasti kita sudah memikirkannya terlebih dahulu. Namun, bagaimana jika kita hanya berdasarkan dari penglihatan?
Itulah mengapa muncul perbandingan. Perbandingan berfungsi sebagai upaya memikirkan mana yang lebih tepat dan mana yang belum tepat.
Memang proses ini masih 50-50. Namun, semakin kita dapat menunjukkan referensi maupun kedalaman argumentasi atau opini, disitulah akan muncul bukti-bukti bahwa kita telah melakukan proses berpikir.
Lalu bagaimana dengan kasus unggahan Tara Basro di akun Instagram-nya (dan Twitter)? Apakah pihak Kominfo telah lolos dalam proses berpikir terhadap unggahan tersebut?