Final ideal tersajikan di Gelora Delta Sidoarjo, Jawa Timur, ketika Persebaya bertemu dengan Persija. Bukan tanpa alasan bahwa kedua klub tersebut berada di partai puncak. Karena keduanya memang lolos dari fase grup sebagai juara grup.
Persebaya menjadi juara grup A dengan mengalahkan Madura United (4-2) yang harus puas sebagai runner-up grup dan bertemu dengan Persija di semi final. Klub asal Pulau Madura itu kemudian gagal menyingkirkan Persija, karena kalah tipis 2-1 dari klub asal ibu kota tersebut.
Sedangkan Persebaya justru mampu menang dengan meyakinkan kala berjumpa dengan wakil Jatim lainnya, Arema FC (4-2). Meski klub asal Malang itu memiliki perubahan tim yang cukup signifikan, namun secara permainan mereka memang kalah tajam dibandingkan Persebaya.
Baca juga: Tidak Ada Piala Presiden, Piala Gubernur Jatim Pun Jadi
Diluar dari faktor teknis atau taktik permainan, Persebaya di partai final ternyata juga lebih beruntung daripada Persija. Selain karena bermain dengan lawan yang kehilangan 1 pemain, mereka secara psikologis sangat terbantu dengan venue yang menggelar partai tersebut.
Memang, ini adalah turnamen yang beratasnama Piala Gubernur Jatim, namun idealnya laga final itu dapat disaksikan secara netral oleh kubu suporter dari kedua belah pihak. Justru ketika final itu dapat dihadiri pula oleh suporter Persija, ini akan memberikan ujian terhadap tingkat kedewasaan suporter Persebaya -pasca kabar kerusuhan di semifinal- yang memang boleh untuk dominan di tribun.
Namun, seharusnya esensi final dapat diutamakan agar turnamen ini masih terlihat profesional. Jika para pemainnya tetap dapat bermain profesional -meski mereka juga tak bisa menghindari intrik-intrik dan tensi yang tinggi, seharusnya hal itu dapat ditunjukkan pula oleh pemain kedua belas (suporter) dari kedua klub tersebut di tribun.
Artinya, kita perlu bukti bahwa suporter sepak bola memang tidak bar-bar. Bukan justru melihat kehomogenan suporter di tribun saat final berlangsung. Sehebat-hebatnya para pemain Persija, mereka juga manusia biasa. Takut akan keselamatan, juga butuh adanya dukungan.
Ini yang seharusnya dimengerti pula oleh publik "tuan rumah". Kita perlu mengakui bahwa Persebaya di partai final ini seperti menjadi tuan rumah. Namun, tetap saja kita perlu melihat sportifitas mereka dan pembuktian mereka sebagai suporter yang anti kekerasan dan kerusuhan.
Pembuktian itu tidak dapat muncul begitu saja. Perlu adanya pihak yang mewadahi ajang itikad baik tersebut, yaitu panpel dan federasi. Pihak tim panpel dan federasi harus tetap berani membuat sebuah pertandingan final selayaknya final.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!