Mari membuat kesepakatan bahwa ini tidak akan membahas tentang penulisan di buku dan jurnal. Karena, penulisan di dalam buku dan jurnal akan lebih kaku dan taat aturan dibandingkan menulis di blog. Apalagi jika blog itu adalah blog pribadi. Sehingga, siapa saja penulis atau pemilik blog tersebut akan memiliki hak untuk menyantumkan atau tidak sumber maupun referensinya.
Bagaimana dengan saya, apakah saya merasa perlu untuk menyantumkan sumber dalam penulisan di blog saya?
Sebagai seseorang yang masih terikat dengan bidang akademisi, saya tentu merasa penyantuman sumber adalah keniscayaan. Bukan lagi perlu, tapi harus. Pertimbangannya beragam. Selain karena kode etik dalam menulis yang sedemikian rupa, juga karena secara pengetahuan dan pengalaman biasanya masih belum sepenuhnya diyakini oleh pembaca bahwa tulisan itu "murni".
Di lingkup akademisi, setiap statement yang keluar dari tangan kita perlu dipertanggung jawabkan. Siapa yang menyatakan ini? Itulah yang sering dipertanyakan oleh orang akademisi (dosen dan mahasiswa). Jika tidak ada sumbernya, maka pernyataan itu diragukan keabsahannya meski benar.
Inilah yang menjadi polemik yang kemudian menjadi gaya tulis dari orang-orang yang salah satunya adalah saya. Namun, menurut saya penulisan apapun itu ketika memang sudah pernah ada yang menyatakannya maka tidak ada kurangnya bagi kita untuk menyantumkannya. Apakah karena ada sumber, berarti pernyataan murni dari kita akan tenggelam dan kalah kuat?
Justru seharusnya tidak. Mengapa?
Karena dengan adanya penyantuman sumber, berarti kita menunjukkan sisi yang dapat membuat pembaca semakin percaya pada kita. Yaitu, kapasitas literasi.Â
Kapasitas literasi ini krusial bagi penulis. Karena sebagai penulis, pekerjaannya tidak hanya menghasilkan tulisan namun juga menunjukkan rekam jejak membacanya. Melalui penyantuman sumberlah para penulis dapat membuktikan kapasitas literasinya.
Maka dari itu, penulis juga tidak setuju jika penyantuman sumber hanya dilakukan secara pragmatis. Artinya, tidak digunakan sebagai bukti berliterasi, melainkan hanya tempelan. Hanya karena secara judul dan topik generalnya sesuai, maka sumber itu dicantumkan tanpa dibaca terlebih dahulu.
Hal inilah yang harus dihindari ketika melakukan penyantuman sumber. Pragmatisme dalam penyantuman sumber pada akhirnya akan membuat bumerang negatif bagi penulisnya. Karena, pasti akan ada masanya si penulis diuji pemahamannya ketika menyantumkan sumber tersebut dalam tulisannya.
Nah, pengujian ini yang biasanya akan dihindari oleh banyak penulis. Karena, mereka sudah merasa bahwa tulisan yang dihasilkan sudah melalui proses kontemplasi, dan itu sudah sangat cukup. Padahal tidak.