Meski secara pribadi saya tidak mengenal beliau. Namun, saya menjadi salah satu orang Indonesia yang angkat topi dengan kemampuannya dan rekam jejaknya yang luar biasa. Bahkan, namanya terabadikan sebagai nama perusahaannya.
Begitu pula dalam hal pengembangan negara. Beliau dapat disebut sebagai salah satu pihak yang turut andil mengembangkan daerah-daerah di Indonesia. Seperti Jonggol di Bogor yang pernah diisukan menjadi ibukota namun tidak terealisasi.
Begitu pula dengan wilayah Banjarmasin yang dikabarkan juga dikembangkan oleh perusahaan Ciputra beserta anak-anak perusahaannya. Artinya, beliau bersama perusahaannya dapat dikatakan sangat peduli dengan perkembangan negeri ini, meski tak dipungkiri bahwa ini berkaitan juga dengan sistem bisnis yang dijalankan.
Melihat rekam jejaknya yang sedemikian rupa, maka bukanlah hal yang lebay jika saya menyatakan bahwa negeri ini selalu membutuhkan orang-orang cerdas sepertinya. Namun, apalah daya, bahwa umur tidak bisa terus-menerus diulur. Sehingga, pada akhirnya kita harus ikhlas dengan kepergiannya.
Saya berharap bahwa kepergiannya bukan akhir dari kemampuan Indonesia untuk melahirkan generasi cerdas dan terus melangkah maju. Karena, (sebenarnya) dengan kepergiannya kita juga diberikan ruang dan kesempatan untuk memacu diri agar menyerupainya.
Kita memang tidak bisa sepenuhnya menggantikan sosoknya. Namun kita harus dapat melanjutkan pergerakannya dalam membangun dan memajukan negara ini.
Indonesia sebenarnya sudah cukup mapan. Namun, sayangnya seringkali digoyang dengan banyak isu yang meresahkan masyarakat dan pemerintahnya. Sedang di sisi lain, kita mulai kekurangan orang-orang yang mampu berbuat banyak tanpa berbicara banyak.
Kita semakin banyak berbicara, namun tak kunjung melakukan apa-apa. Menulis saja terkadang enggan, kecuali update status dan mengerjakan tugas. Bahkan, mengerjakan tugas masih banyak yang copy-paste. Lalu, dimana kemampuan kita?
Inilah yang patut kita benahi bersama. Bahkan sebagai penulis pun saya juga perlu melakukan hal-hal lain yang perlu diwujudkan. Meski menulis juga merupakan perwujudan. Namun, terkadang masyarakat salah paham.
Masyarakat terkadang berat sebelah dalam memahami keberadaan penulis. Seolah penulis harus disejajarkan dengan tukang bangunan yang setiap hari menyusun pondasi, mendirikan tembok, hingga memasang atap. Waduh!