Sudah bukan suatu tontonan yang asing bagi masyarakat Indonesia, ketika disinggung tentang keberadaan film Bollywood. Film-film yang diproduksi dari India itu memang selalu hadir di layar hiburan masyarakat Indonesia termasuk di layar televisi. Biasanya film-film Bollywood yang ditayangkan oleh stasiun-stasiun tv swasta nasional adalah untuk mengisi hari libur masyarakat, khususnya saat hari raya. Seperti Idul Fitri dan Idul Adha yang dirayakan oleh umat muslim di Indonesia.
Karena kemiripan budaya dan isu-isu sosialnya, maka masyarakat Indonesia tidak menampik jika ada film-film Bollywood yang dapat dinikmati sekaligus menjadi inspirasi bagi pemirsanya. Dari film-film lama hingga yang terbaru, India selalu mampu menghadirkan tontonan yang relevan dan menginspirasi masyarakat Indonesia. Salah satunya adalah film lama yang berjudul "My Name is Khan".
Film ini diluncurkan pada tahun 2010 dan menjadi salah satu film yang sangat "menohok" masyarakat dunia. Artinya, film ini mampu memberikan dampak kepada masyarakat internasional termasuk di Indonesia. Bahkan film ini bisa menjadi salah satu bahan kajian tentang bagaimana realitas yang terjadi di masyarakat dunia dalam melihat dan menilai keberadaan imigran sekaligus perbedaan agama.
Isu tentang imigran sebenarnya bukanlah hal yang baru bagi negara-negara maju, seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, Rusia, dan lain-lain. Uniknya, di film tersebut, Amerika Serikat dijadikan sebagai latar tempatnya. Entah karena Amerika Serikat saat itu dipimpin oleh Barrack Husein Obama, atau memang karena Amerika Serikat saat itu juga ingin move on dengan tragedi World Trade Centre (WTC).
Suatu hal yang dapat diakui dari keberadaan film ini sebelum merujuk pada jalan ceritanya adalah bagaimana India melalui industri filmnya dapat meyakinkan publik Amerika Serikat untuk dapat menjadi latar tempat dan ceritanya. Hal ini tentu perlu diapresiasi terlebih dahulu dan dapat menjadi sebuah pembukaan terhadap kaca mata masyarakat dunia (dan Indonesia). Bahwa, tidak selamanya film yang mencoba mengangkat realitas (meski sudah dibumbui dengan kefiksian) akan menjadi kontroversi.
Film tersebut juga menjadi bukti bahwa tontonan yang mengandung SARA juga tak selamanya berdampak negatif. Lebih tepatnya, berpotensi memicu perpecahan. Justru film seperti My Name is Khan ini dapat membukakan mata kita ke dalam realitas masyarakat secara apa adanya dan adil.
Adil di sini lebih merujuk pada keberanian mengambil sudut-sudut negatif dari kedua belah pihak yang berbeda (antara muslim dan non-muslim) dan mengambil pula sudut-sudut positif dari kedua belah pihak tersebut. Artinya, perbedaan itu bukan suatu hal yang buruk.
Dari sini kita dapat masuk ke dalam garis besar ceritanya. Memang, hampir semua masyarakat dewasa di Indonesia sudah tahu dan bahkan hafal dengan jalan cerita My Name is Khan. Karena, film ini sangat sering ditayangkan setiap momen liburan (bahkan baru saja tayang saat Idul Adha kemarin). Namun, di sini kita tetap mencoba menunjukkan kembali adegan-adegan di film yang dibintangi Shah Rukh Khan (Rizwan Khan) dan Kajol (Mandira Khan) ini untuk dikorelasikan dengan pesan-pesan yang bermakna untuk pemirsanya.
Pesan pertama yang dapat kita ambil adalah manusia yang ada di Bumi ini hanya dibedakan oleh manusia jahat dan manusia baik. Hal ini dapat dilihat dari adegan Rizwan kecil dengan ibunya. Dari ajaran sang ibu itulah, Rizwan dewasa kemudian dapat menerima perbedaan (agama dan ras).
Perbedaan yang diterima oleh Rizwan pun dapat terlihat dari pernikahannya dengan Mandira yang beragama Hindu. Secara ras memang keduanya sama, namun secara agama mereka berbeda dan ini sempat menjadi pertentangan. Namun, Rizwan mampu membuktikan bahwa pernikahannya tidak merusak "tatanan" kemanusiaan.