Pembalap Italia ini tentunya tidak bisa dianggap sebelah mata. Karena, sebagai pembalap, dirinya diketahui pernah merasakan dua motor berbeda sebelum berada di Ducati. Bahkan motor terakhir yang ditunggangi adalah Yamaha (Tech3). Artinya, Dovizioso pernah mengetahui motor racikan dari Jorge Lorenzo dan Valentino Rossi (motor hibah tim Factory).Â
Sehingga, input dari Dovi sebagai mantan pembalap Yamaha -meski satelit- dapat diperhitungkan bersama dengan pengalaman Stoner menggeber Ducati di masa jayanya dan juga saat mantan pembalap asal Australia ini merasakan juara dunia bersama motor Honda yang waktu itu masih 'normal'.
Di sini kita bisa melihat secara sederhana, bahwa motor Ducati jauh lebih baik dibandingkan Honda. Karena, Ducati berada dalam pengaruh orang banyak untuk menghasilkan motor yang sedemikian rupa. Bahkan, keputusan mereka untuk menggaet Jorge Lorenzo juga sangat tepat dan menjadi berkah bagi tim asal Italia ini.
Situasi inilah yang membedakan antara Ducati dengan Honda. Karena, Honda tidak ada yang dapat memberikan input pengembangan selain Marc Marquez. Bahkan, Casey Stoner pernah menyebut dirinya tak memiliki peran di Honda meski dirinya didapuk sebagai test rider (pembalap penguji motor). Hal ini disinyalir karena Honda terlampau menganak-emaskan Marc Marquez yang memang diakui mampu memberikan segalanya kepada Honda.
Sebenarnya hal ini juga sama seperti Ducati di tahun 2007. Tahun yang sama dengan masa jaya Stoner saat menjadi juara dunia dan menjadi pembalap yang sangat disegani oleh pembalap lainnya. Hal ini dikarenakan dirinya mampu membawa tim non-Jepang untuk meraih gelar juara dunia pertama kali sepanjang sejarah. Talentanya saat itu juga bisa dikatakan mirip seperti Marquez. Agresif dan sangat cepat dalam memaksimalkan kinerja mesin motor, membuat Stoner muda dan Ducati berjaya.
Namun, lambat laun kehebatan itu memudar. Bukan hanya karena tim-tim lain telah bangkit. Melainkan, karena tak ada pembalap selain Stoner yang mampu mengendalikan Ducati. Hal ini awalnya tidak diketahui oleh Ducati, sehingga mereka terus mempertahankan karakteristik motor yang sedemikian rupa sampai pada akhirnya, motor itu memang benar-benar tidak mampu membawa mereka ke tangga juara. Jangankan juara, naik podium saja sudah sangat sulit.
Ducati pada akhirnya bergerak. Hal ini ditunjukkan dengan upaya menggaet pembalap-pembalap yang uniknya merupakan eks pembalap Yamaha. Dari Andrea Dovizioso, Cal Crutchlow, hingga Valentino Rossi pun menjadi bagian dari upaya Ducati untuk bangkit. Namun, proses itu perlu waktu dan siapa yang paling lama bertahan di sana, dialah yang akan berupaya keras untuk mengembangkan motor untuk lebih baik.
Di sini kemudian nama Andrea Dovizioso muncul sebagai pembalap terlama di Ducati. Gaya balapnya yang cenderung tenang, rupanya sedikit mampu untuk membuat Ducati tidak lagi liar. Namun, nilai minus dari Andrea Dovizioso adalah kehausan untuk menang yang belum muncul.Â
Sehingga misi Ducati masih hanya mengejar podium. Hingga pada akhirnya, momentum hadir di 2017 ketika dirinya mulai merasakan ketidaknyamanan terhadap karirnya ketika Jorge Lorenzo datang.
Di sinilah kita mulai dapat melihat hasil dari segala jerih payah Ducati yang dikomandoi oleh Luigi 'Gigi' Dall'igna (General Manager) di bidang pengembangan motor. Lalu, bagaimana dengan Honda? Apakah Honda akan mengalami nasib yang serupa dengan Ducati di masa lalu?
Bisa jadi demikian. Namun, yang menjadi keuntungan bagi Honda saat ini adalah mereka mampu menjaga konsistensi performa Marquez. Begitu pula dengan Marquez yang masih haus untuk menang. Sehingga, performa Honda bersama Marquez masih akan aman.