Pertanyaan ini timbul ketika penulis pernah mendapati pernyataan bahwa berbagai aplikasi keuangan yang sedang muncul dan digunakan oleh masyarakat masa kini masih hanya sekadar dilihat saja oleh sebagian masyarakat yang masih belum menggunakan aplikasi-aplikasi semacam itu. Uniknya, mereka mendasari itu dengan label sebagai orang desa.
Memang, mereka sudah memiliki akun media sosial dan bahkan ada yang sudah keluar masuk area ATM untuk melakukan transaksi. Artinya, orang-orang yang mengaku sebagai orang desa tersebut sebenarnya bukan berarti tak terjamah oleh perkembangan teknologi. Karena, di sini bukan soal teknologi yang menjamah mereka, melainkan mereka yang menjamah teknologi tersebut. Yaitu, tentang ketersediaan mereka. Bersediakah mereka menggunakan aplikasi-aplikasi tersebut?
Jawabannya ada dua. Iya dan tidak.
Ketika menjawab iya, berarti berbagai faktor di sekitarnya telah berhasil mendukung keputusan untuk menggunakan teknologi dan memanfaatkan berbagai kemudahan yang disematkan ke dalam teknologi tersebut.
Faktornya tentu sangat beragam. Dapat berupa dukungan orang di sekitarnya, keuangan yang menjamin terpenuhinya kebutuhan tersebut, dan yang terakhir adalah pilihan. Namun tentang pilihan ini akan dibahas di faktor yang menyebabkan masyarakat atau orang-orang desa itu memilih untuk tidak menggunakan aplikasi-aplikasi tersebut.
Di sinilah kita berada di jawaban tidak dari mereka yang tidak menggunakan teknologi maupun aplikasi-aplikasi yang sedang viral saat ini. Kira-kira apa faktor di baliknya?
Pertama, orang-orang di sekitarnya belum menggunakan teknologi maupun aplikasi tersebut. Sehingga, orang-orang tersebut juga merasa belum perlu untuk menggunakannya pula. Urgensi menjadi pertimbangan di sini sekaligus faktor lingkungan dan masyarakat di sekitarnya.Â
Di sini, penulis lagi-lagi menyematkan pemikiran sosok ilmuwan Sosiologi, Emile Durkheim. Beliau menyatakan (dikutip bebas) bahwa individu akan terikat oleh aturan atau nilai-norma yang berlaku di masyarakat. Artinya, keputusan individu ataupun perilaku individu, biasanya mencerminkan apa yang ada di masyarakat tersebut.
Uniknya, perilaku ini sangat familiar di negara berkembang termasuk di Indonesia. Yaitu, negara yang penduduknya memiliki ikatan sosial yang masih kuat dan keberadaan nilai-norma yang masih dipegang teguh oleh sebagian masyarakat. Apalagi masyarakat desa, yang masih tidak sepenuhnya meninggalkan tradisi keguyuban dan pengaruh antar individu yang kemudian menciptakan perilaku sosial.
Rupanya, hal ini masih berlaku meskipun secara kasat mata, kita dapat melihat bahwa masyarakat di pedesaan juga sudah melek teknologi dengan keberadaan gadget di saku mereka masing-masing. Atau minimal per-KK memiliki dua/tiga gadget. Entah itu satu PC (personal computer) dengan dua ponsel ataupun tiga-tiganya adalah ponsel.
Namun, tetap saja perkembangan teknologi dan pengaplikasian fitur-fitur terbaru biasanya tidak akan menyebar secara cepat seperti di perkotaan. Selain itu, ada faktor kedua yang terpenting di sini, yaitu, orang desa tidak mudah beralih dari kebiasaan A ke kebiasaan B. Mereka biasanya perlu waktu untuk menyesuaikan diri dengan hal-hal baru, dan biasanya akan lebih lama dibandingkan orang-orang kota yang setiap waktu membutuhkan pembaruan.
Ini yang kemudian membedakan pengalaman orang desa dengan orang kota dan menjalar pula pada salah satu contoh perkembangan teknologi di masa kini. Yaitu, dengan adanya fitur perbankan yang teraplikasikan di perangkat seluler. Keberadaan ponsel pintar, membuat dunia perbankan juga harus memanfaatkannya sebagai media yang dapat menunjang kebutuhan masyarakat. Khususnya dalam hal keuangan.