Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

May Day dan Hardiknas sebagai Alarm Penting

2 Mei 2019   16:17 Diperbarui: 2 Mei 2019   16:30 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika suatu peristiwa diabadikan dengan cara diperingati, maka peristiwa itu akan menjelma menjadi sejarah. Namun, tidak semua sejarah yang diingat adalah peristiwa-peristiwa yang menarik untuk diperingati, ataupun sangat penting untuk diperingati. Berbeda dengan May day atau Labour day dan Hardiknas. Peristiwa ini sangat memancing masyarakat untuk mengingat masa lalu yang sangat perlu adanya perbaikan di masa depan.

Hari buruh diperingati karena, untuk mengingat bahwa nasib buruh perlu diperhatikan---tidak hanya dipekerjakan. Seiring berjalannya waktu, tunjangan hidup untuk para buruh juga diperhatikan oleh masyarakat meskipun (sebenarnya) semakin membaik. Gaji juga sudah cukup bisa disebut sesuai dengan apa yang dapat mereka lakukan di dunia pekerjaan tersebut. Namun, bukan soal gaji yang kurang. Melainkan tingkat kebutuhan manusia yang sebenarnya semakin bertambah.

Standar kehidupan yang di sini akan menjadi pokok utama pembahasan.

Perlu kita cermati, bahwa kita tidak bisa serta-merta menilai bahwa pihak pemberi kerja (perusahaan ataupun instansi) adalah pihak yang salah---mengenai kesejahteraan buruh. Hanya karena, mereka dinilai tidak memberikan gaji yang cukup. Namun, secara faktual, kita perlu menganalisis bahwa pemberi kerja juga harus memikirkan kecukupan dalam operasional usaha mereka. Apakah bisa untung atau tidak.

Suatu hal yang sebenarnya sangat praktis. Kehidupan manusia selalu mencari untung dan menghindari rugi. Namun, yang menjadi pembeda adalah standar kebutuhannya. Standar kebutuhan pemberi kerja seharusnya berbeda dengan standar kebutuhan buruh. Sehingga, hal ini tidak bisa dianggap seratus persen bahwa buruh tidak sejahtera sedangkan orang 'borjuis' semakin leha-leha.

Namun, bukan berarti tulisan ini menganut paham fungsionalisme*. Melainkan ini hanyalah berkaitan tentang standar kebutuhan saja. Hal yang mendasar. Bukan tentang kepentingan.

Kita bisa mengibaratkan bahwa standar kebutuhan orang pedesaan berbeda dengan standar kebutuhan orang perkotaan. Begitu pula jika diibaratkan ke kehidupan kreatif di bidang penulisan. Orang yang baru belajar menulis puisi, standar kebutuhannya akan berbeda dengan orang yang sudah dikenal sebagai penulis puisi.

Apakah dari sini sudah bisa difahami alur berpikirnya?

Inilah yang kemudian bisa diimplementasikan ke kehidupan buruh. Mereka adalah para pekerja mulia yang selalu hadir di balik perwujudan kebutuhan masyarakat luas. Mereka juga yang ada di balik upaya mewujudkan standar kehidupan masyarakat luas. Tanpa adanya mereka, standar kehidupan kita akan seperti apa?

Bagaimana nasib orang kelas menengah-bawah yang ingin memiliki ponsel yang terjangkau harganya dengan fitur yang lumayan 'up to date', jika tidak ada buruh yang bekerja untuk menghasilkan ponsel yang demikian?

Dari sini, kita berangkat pada simpatisan masyarakat terhadap nasib buruh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun