"Manusia ingin kesempurnaan, tapi diri sendiri tak pernah sempurna"
Berkaca pada situasi yang terjadi di stadion Kapten I Wayan Dipta Gianyar Bali (2/12). Masyarakat penikmat olahraga populer di dunia ini (sepakbola), tentu tak bisa memungkiri adanya kekecewaan dan juga kemakluman yang dirasakan secara bersamaan.Â
Kecewa karena hal ini telah mengganggu atmosfer jalannya pertandingan yang sedang berlangsung saat itu. Namun juga muncul rasa maklum, ketika menyadari bahwa ada latar belakang yang cukup serius untuk ditanggapi dan harus dengan aksi seperti itu---agar berhasil mendapatkan perhatian.
Pertandingan yang dihelat pada malam hari yang mempertemukan tim tuan rumah, Bali United melawan tim kandidat juara liga, Persija Jakarta, telah kita ketahui bagaimana kisahnya. Gol cepat dari tim tamu ditambah dengan hukuman penalti kepada klub tuan rumah, adalah bagian dari faktor lain yang membuat sesuatu terjadi di lapangan---lebih tepatnya stadion.
Sesuatu itu adalah menyalanya flare dan munculnya kembang api di langit Gianyar.
Apakah ada pesta?
Ada. Namun, pesta yang mengungkapkan rasa kekecewaan terhadap apa yang sudah terjadi pada klub kesayangan bagi beberapa bagian dari masyarakat Bali tersebut.Â
Ungkapan itu tak bisa dibendung oleh suporter Bali United, dan sepertinya memang hal ini harus dilakukan. Menyalakan flare dan kembang api. Suatu hal  yang tentu tidak bagus bagi klub---karena pasti akan mendapatkan sanksi dari federasi (PSSI).Â
Karena, secara regulasi, flare dan kembang api memang dilarang untuk dinyalakan di dalam stadion. Hal ini juga berlaku di sepakbola internasional yang ditetapkan oleh FIFA maupun asosiasi federasi zona benua dan pecahan benua (CONCACAF dan CONMEBOL di Benua Amerika).
Flare dan kembang api adalah sesuatu yang berbahaya untuk kesehatan dan keselamatan. Karena, keduanya berbahan ledak dan bakar.Â
Artinya, jika terkena kedua benda tersebut, dapat mengancam keselamatan semua yang ada di sekitar menyalanya kedua benda tersebut. Begitu pula jika terkena asapnya---efek dari pembakaran, maka akan mengganggu pernafasan orang yang berada di dalam stadion tersebut. Jarak pandang juga terganggu yang membuat mata juga perih.
Artinya, konsekuensinya tidak main-main bagi orang di sekitar, ketika kedua benda tersebut dinyalakan, apalagi di tempat yang terisi oleh banyak orang seperti stadion sepakbola. Ada bahayanya.
Namun, sisi lain dari kedua benda itu ketika sudah dinyalakan adalah adanya bentuk ekspresi yang dapat diwujudkan.
Pada awalnya flare dan kembang api identik dengan euforia atau ungkapan kegembiraan yang sudah sangat meluap bagi suporter sepakbola saat pertandingan berlangsung maupun setelah full-time.Â
Bisa dikarenakan kemenangan yang diraih oleh klub kesayangannya, juga bisa karena pertandingan itu berhasil menentukan klub dukungannya menjadi juara kompetisi. Artinya, flare dan kembang api adalah simbol pesta kesuka-riaan bagi suporter di tribun.
Namun, seiring berjalannya waktu, flare dan kembang api dinyalakan juga untuk menjadi media penyampai kekesalan yang teramat besar dan itu harus diketahui langsung oleh seluruh aktor di lapangan, baik itu pemain, pelatih, maupun official pengawas pertandingan. Mereka harus tahu apa yang dirasakan oleh suporter dan harus menanggapinya.
Hal ini sering terjadi ketika laga berakhir tidak sesuai dengan keinginan suporter apalagi jika timnya sedang bermain kandang. Artinya, mereka ingin mendapatkan hasil maksimal berupa kemenangan bukan kekalahan. Sedangkan, pertandingannya justru berakhir di luar ekspektasi, dan ini dapat menimbulkan kekecewaan. Bahkan kekecewaan bisa langsung terungkap saat pertandingan masih berlangsung.
Maka tak heran jika di saat pertandingan masih berlangsung, muncul asap dari flare yang dinyalakan. Bahkan di pertandingan selevel Liga Champions Eropa, kita masih bisa melihat flare yang dinyalakan saat ada laga antara Real Madrid vs Paris St. Germain (musim 2017/2018), yang mana klub asal Paris ini bertindak sebagai klub tuan rumah.
Saat itu pertandingan berlangsung dengan diwarnai asap flare yang uniknya justru berada di dekat gawang tim tuan rumah, sehingga membuat para pemain PSG kesulitan untuk mengawasi penyerangan dari tim lawan menuju kotak penalti dan membuat serangan dari Cristiano Ronaldo dkk ke gawang yang dikawal oleh penjaga gawang asal Perancis, Areola, semakin berbahaya dan membuahkan gol. Di sini letak kecerobohan dari pendukung yang di sini kemudian menunjukkan bahwa flare bisa malah merugikan klub dukungannya dibandingkan klub lawan.
Asap flare jelas mengganggu jarak pandang, dan ini akan sangat mengganggu bagi pemain untuk dapat melihat jelas bola, arah bola, dan pergerakan lawan maupun posisi rekan yang jauh yang seharusnya menerima bola karena telah mendapatkan ruang yang bebas. Ini adalah konsekuensi yang harus diterima oleh pemain di atas lapangan akibat adanya flare yang dinyalakan oleh suporter, baik itu suporter timnya maupun suporter tim lawan. Artinya, flare bukan untuk dinyalakan di dalam stadion ketika hal ini justru merusak jalannya pertandingan.
Dari contoh yang terjadi di kompetisi sekelas Liga Champions dan masih ada kelompok suporter radikal nan dangkal semacam itu, sepatutnya menjadi pelajaran penting bagi suporter sepakbola di Indonesia---sebelum menirunya. Fanatis masih boleh, anarkis jangan.
Tidak masalah sebenarnya untuk memprotes keadaan, tapi harus melihat konsekuensinya. Apakah itu merugikan timnya atau tidak. Jika ingin meneror, teror dengan cara yang unik. Toh masih ada media yang lebih menarik. Seperti koreografi dan tulisan yang dapat dibentangkan di banner besar dan pastinya akan disorot juga oleh kamera siaran dan kamera wartawan. Dari sana, teror pasti bisa diperoleh dan memang harus dirasakan oleh mereka yang memang sedang gagal menjalankan sistem dengan tepat.
Seperti flare dan kembang api yang ada di Stadion Kapten I Wayan Dipta, bahwa ini bukan untuk meneror tim tamu dan suporter tim tamu, namun, untuk meneror tim sendiri dan manajemennya yang gagal mempertahankan pelatih utamanya untuk mundur dari jabatan ketika kompetisi masih tersisa dua laga (saat sebelum pertandingan menjamu Persija digelar).
 Di sini, memang kita tidak bisa 100% menyalahkan ulah suporter tim tuan rumah. Karena tak bakal ada asap jika tak ada api. Begitu pula dengan apa yang terjadi di stadion tersebut.
Warna merah flare yang terus 'dicicil' nyalanya untuk dapat membuat pertandingan naik-turun dan semakin tak jelas arahnya. Ditambah pula dengan menurunnya performa wasit yang juga ternyata terpengaruh pula oleh menyalanya flare dan kembang api tersebut. Padahal wasit yang memimpin adalah Jumadi Efendi, salah seorang wasit berpengalaman di kancah sepakbola nasional. Namun, dirinya masih dapat merasakan dampak dari teror di stadion tersebut.
Dia sebagai wasit utama juga dinilai gagal untuk mengatasi keadaan karena dari yang seharusnya sebagai wasit adalah dia tahu aturan main---bukan sekedar menjalankan tugasnya sebagai pengadil (tunduk boleh, tapi tidak dengan tanpa pertimbangan).Â
Seorang wasit utama harus tahu situasi dan cara mengatasi situasi tersebut. Wasit juga punya wewenang untuk dapat berargumentasi dengan pengawas pertandingan dari federasi. Karena dia harus punya wawasan tentang perwasitan secara global dan itu dapat dijadikan acuan untuk dapat membuat keputusan yang mungkin berbeda dengan apa yang ada di federasi---mengingat federasi sepakbola Indonesia diisi oleh orang-orang yang belum lama tahu seluk beluk sepakbola apalagi tentang hukum rimbanya.Â
Jadi alangkah baiknya, wasit di sini dapat menjalankan perannya sebagai orang yang tak hanya tunduk terhadap aturan dari federasi tapi juga memberikan pendapatnya, bahwa situasi semacam ini seharusnya dapat diputuskan untuk begini-begitu. Bukan hanya mendengarkan lalu "iya" saja. Pertandingan dilanjutkan, lalu dijeda lagi, tanpa ada kesepakatan yang jelas---antara wasit, pengawas, dan kedua tim (pemain, pelatih dan seluruh officialnya) yang bertanding.
Di sini letak kekecewaan menjadi meluas bagi penonton sepakbola dari layar televisi dan streaming. Mereka tak hanya kesal dengan ulah suporter di tribun (walau di sisi lain juga memakluminya), namun juga mereka kesal dengan kegupuhan wasit utamanya yang gagal memberikan argumentasi yang meyakinkan dan dapat dijadikan panduan bagi rekan kerjanya (asisten wasit dan official wasit---yang juga merupakan seorang wasit senior).
Pertandingan kemudian menjadi berakhir secara mendadak walau bagi beberapa pihak itu sudah ditunggu-tunggu. Karena, waktu sudah lewat 90 menit (terlihat juga di score-board stadion). Namun, yang seharusnya ada adalah perjanjian bahwa pertandingan harus seperti apa dan bagaimana jika ini dan itu terjadi. Inilah yang dibutuhkan oleh kedua tim, apalagi bagi tim tuan rumah yang akhirnya bisa mencetak gol penipis jarak---skor menjadi 1-2 dan akhirnya harus berakhir dengan skor tersebut.
Bali United sudah bisa menerima kekalahan jika mereka tahu bahwa pertandingan akan berjalan berapa menit lagi dan berhenti di menit keberapa. Namun ternyata tidak demikian. Inilah yang akhirnya menjadi kekecewaan yang meluas dan berawal dari diri mereka sendiri yang gagal menanggulangi keadaan yang terlewat gawat di situasi yang darurat (situasi sepakbola Indonesia secara nasional sedang bergejolak juga).
Itulah kehebatan cerita dari flare dan kembang api di wahana sepakbola Indonesia saat ini, yang harapannya tidak kembali terjadi jika hal ini membuat situasi sepakbola akan menjadi lebih parah, alih-alih menyelesaikan keadaan.Â
Artinya, aksi dari suporter terkadang tidak memberikan solusi namun malah memperlebar luka. Ibaratnya ketika ada orang terluka dan dokternya masih belum ditemukan, namun sayatan itu malah diperparah dengan olesan balsem. Tentu itu tindakan konyol. Namun, di sisi lain itu harus dimaklum, karena memang hanya itulah yang bisa dilakukan. Itulah yang bisa dilakukan oleh masyarakat yang bukan dokter, bukan PMI, PMR ataupun PRAMUKA. Begitu pula dengan mereka.Â
Mereka adalah suporter bola, yang berupaya harus tetap mendukung tim ketika kalah dan berupaya tidak berlebihan menyanjung timnya saat menang---sesuatu yang sampai detik ini masih sulit mereka lakukan. Yaitu ketidakberlebihan dalam menyikapi rasa kecintaan.
Tapi itulah keindahan dari sepakbola. Karena sepakbola hadir untuk membuat dunia menjadi lebih menggelora bagai surga dan neraka sekaligus.
Begitupula dengan sepakbola Indonesia. Bersama dengan riwayat dan budaya militannya, kita masih tetap harus mencintai sepakbola beserta seluruh elemennya, termasuk suporter. Karena tanpa mereka, sepakbola hanya akan sebatas olahraga, bukan pertandingan, juga bukan keseruan.
Jadi, apakah kita masih bisa menikmati sepakbola?
Apakah masih bisa dan boleh menyalakan flare dan kembang api?
Malang,
3 Desember 2018
Deddy Husein S.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H