Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Flare dan Kembang Api, Simbol Pesta yang Menjadi Simbol Unjuk Rasa

3 Desember 2018   16:17 Diperbarui: 3 Desember 2018   16:40 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Flare menyala di tribun suporter Bali United. (Bolasport.com/Moch Hary Prasetya)

Namun, sisi lain dari kedua benda itu ketika sudah dinyalakan adalah adanya bentuk ekspresi yang dapat diwujudkan.

Pada awalnya flare dan kembang api identik dengan euforia atau ungkapan kegembiraan yang sudah sangat meluap bagi suporter sepakbola saat pertandingan berlangsung maupun setelah full-time. 

Bisa dikarenakan kemenangan yang diraih oleh klub kesayangannya, juga bisa karena pertandingan itu berhasil menentukan klub dukungannya menjadi juara kompetisi. Artinya, flare dan kembang api adalah simbol pesta kesuka-riaan bagi suporter di tribun.

Namun, seiring berjalannya waktu, flare dan kembang api dinyalakan juga untuk menjadi media penyampai kekesalan yang teramat besar dan itu harus diketahui langsung oleh seluruh aktor di lapangan, baik itu pemain, pelatih, maupun official pengawas pertandingan. Mereka harus tahu apa yang dirasakan oleh suporter dan harus menanggapinya.

Hal ini sering terjadi ketika laga berakhir tidak sesuai dengan keinginan suporter apalagi jika timnya sedang bermain kandang. Artinya, mereka ingin mendapatkan hasil maksimal berupa kemenangan bukan kekalahan. Sedangkan, pertandingannya justru berakhir di luar ekspektasi, dan ini dapat menimbulkan kekecewaan. Bahkan kekecewaan bisa langsung terungkap saat pertandingan masih berlangsung.

Maka tak heran jika di saat pertandingan masih berlangsung, muncul asap dari flare yang dinyalakan. Bahkan di pertandingan selevel Liga Champions Eropa, kita masih bisa melihat flare yang dinyalakan saat ada laga antara Real Madrid vs Paris St. Germain (musim 2017/2018), yang mana klub asal Paris ini bertindak sebagai klub tuan rumah.

Saat itu pertandingan berlangsung dengan diwarnai asap flare yang uniknya justru berada di dekat gawang tim tuan rumah, sehingga membuat para pemain PSG kesulitan untuk mengawasi penyerangan dari tim lawan menuju kotak penalti dan membuat serangan dari Cristiano Ronaldo dkk ke gawang yang dikawal oleh penjaga gawang asal Perancis, Areola, semakin berbahaya dan membuahkan gol. Di sini letak kecerobohan dari pendukung yang di sini kemudian menunjukkan bahwa flare bisa malah merugikan klub dukungannya dibandingkan klub lawan.

Asap flare jelas mengganggu jarak pandang, dan ini akan sangat mengganggu bagi pemain untuk dapat melihat jelas bola, arah bola, dan pergerakan lawan maupun posisi rekan yang jauh yang seharusnya menerima bola karena telah mendapatkan ruang yang bebas. Ini adalah konsekuensi yang harus diterima oleh pemain di atas lapangan akibat adanya flare yang dinyalakan oleh suporter, baik itu suporter timnya maupun suporter tim lawan. Artinya, flare bukan untuk dinyalakan di dalam stadion ketika hal ini justru merusak jalannya pertandingan.

Dari contoh yang terjadi di kompetisi sekelas Liga Champions dan masih ada kelompok suporter radikal nan dangkal semacam itu, sepatutnya menjadi pelajaran penting bagi suporter sepakbola di Indonesia---sebelum menirunya. Fanatis masih boleh, anarkis jangan.

Tidak masalah sebenarnya untuk memprotes keadaan, tapi harus melihat konsekuensinya. Apakah itu merugikan timnya atau tidak. Jika ingin meneror, teror dengan cara yang unik. Toh masih ada media yang lebih menarik. Seperti koreografi dan tulisan yang dapat dibentangkan di banner besar dan pastinya akan disorot juga oleh kamera siaran dan kamera wartawan. Dari sana, teror pasti bisa diperoleh dan memang harus dirasakan oleh mereka yang memang sedang gagal menjalankan sistem dengan tepat.

Seperti flare dan kembang api yang ada di Stadion Kapten I Wayan Dipta, bahwa ini bukan untuk meneror tim tamu dan suporter tim tamu, namun, untuk meneror tim sendiri dan manajemennya yang gagal mempertahankan pelatih utamanya untuk mundur dari jabatan ketika kompetisi masih tersisa dua laga (saat sebelum pertandingan menjamu Persija digelar).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun