Sebagai contoh, survei LSI menunjukkan begitu mantan ketua MK Akil Mochtar terjaring dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK di tahun 2013 terkait kasus suap, gratifikasi atas belasan masalah sengketa pilkada dan pencucian uang, tingkat kepercayaan masyarakat kepada MK langsung menukik tajam ke angka 28 persen. Kasus Akil Mochtar pun menjadi salah satu skandal terbesar dalam sejarah peradilan di Indonesia. Tak pernah sebelumnya seorang hakim, apalagi sekaliber jabatan ketua MK, tertangkap tangan dan dijebloskan ke penjara karena praktik korupsi yang konon mencapai angka ratusan miliar rupiah.
Seperti bunyi ungkapan dalam bahasa Inggris, Trust is like paper; once it is crumpled, it can’t be perfect again. Citra MK beberapa tahun belakangan tak lagi sebaik tahun-tahun awal kelahirannya. Penyebab utamanya datang dari tubuh MK sendiri. Selain Akil Mochtar, nama-nama lain seperti mantan hakim MK Asryas Sanusi dicopot karena terlibat masalah pelanggaran etik. Lalu ada mantan hakim MK Patrialis Akbar yang terlibat kasus suap sehingga divonis delapan tahun penjara pada 04 September 2017.
Artinya, MK sebagai lembaga yang seharusnya independen, didaulat untuk menjaga konstitusionalitas hukum dan menjamin keadilan, nyatanya masih belum mampu menutup ruang dan peluang terhadap terjadinya praktik-praktik penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Dengan kata lain, para hakim MK masih rentan terjerumus ke dalam lembah hitam kejahatan kemanusiaan seperti korupsi, suap dan pelanggaran-pelanggaran etik lainnya.
Polemik di tubuh MK berlanjut dengan adanya pengubahan putusan atas uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK. Putusan yang dibacakan hakim konstitusi Saldi Isra ketika itu berbunyi, “Dengan demikian pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan: mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus menerus selama tiga bulan sehingga tidak menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat (2) UU MK.”
Frasa ‘dengan demikian’ pada baris pertama kalimat tersebut diganti menjadi ‘ke depan’ dalam salinan putusan dan risalah persidangan. Amat sulit menerima kalau perubahan itu terjadi semata-mata karena kesalahan ketik alias typo, seperti yang belakangan muncul di beberapa media. Ada aroma politik yang kuat di balik itu karena cenderung melegitimasi pergantian hakim konstitusi Aswanto dengan Guntur Hamzah oleh DPR.
Usut punya usut, pemberhentian itu dilakukan karena Aswanto kerap menganulir produk undang-undang garapan DPR di MK. Meski Aswanto menjadi hakim konstitusi dari usulan DPR, pemberhentiannya harus ditetapkan dengan keputusan presiden atas permintaan ketua MK sesuai yang termakhtub dalam Undang Undang MK, bukan oleh DPR.
Jeratan hukum yang menimpa para ‘manusia setengah dewa’ ini dan kontroversi pengubahan putusan atas uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK, tak hanya berefek pada penurunan kepercayaan masyarakat. MK kini harus menerima nasibnya dicap sebagai lembaga yang terkesan hendak membangun imunitas terhadap hukum dan mulai dekat dengan politik transaksional.
Maka tak heran usulan pembentukan lembaga eksternal guna melakukan pengawasan terhadap kinerja MK, sekaligus pengusutan masalah pengubahan putusan atas uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK begitu masif disuarakan. Ini terbukti dengan penetapan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Mahkamah Konstitusi yang mengamanatkan MK untuk membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
Anehnya, entah karena sudah berada di zona nyaman dengan lima kewenangan superior-nya seperti yang digariskan dalam UUD 1945 pasal 24C ayat 1 dan 2, MK terkesan mengulur-ulur waktu—untuk tidak menyebut menolak—pembentukan MKMK. Penyebabnya adalah selang waktu antara penetapan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Mahkamah Konstitusi dengan keputusan pembentukan MKMK begitu lama.
Sebagai informasi, MKMK baru diresmikan di awal tahun 2023 dan baru aktif bekerja per 01 Februari 2023. Artinya, terdapat kekosongan pengawasan di tubuh MK selama hampir tiga tahun lamanya. Ini sangat ironis. MK hadir mengusung misi implementasi checks and balances antar cabang kekuasaan negara sesuai prinsip demokrasi. Tapi, mengapa hakim-hakim MK terkesan seperti merasa ‘gerah’ ketika prinsip yang sama hendak diberlakukan pada mereka?
Memang sebelumnya sudah ada Dewan Etik MK (DEMK) yang dibentuk pada tahun 2014. Tapi, DEMK adalah bentukan MK sendiri. Dan secara hirarki organisasi, posisinya justru di bawah kontrol MK. Bagaimana mungkin DEMK dapat menjalankan fungsi pengawasan dalam kondisi seperti itu?