"Belilah laptop sesuai isi kantong dan kebutuhan kerja." Â Tips ini diberikan adik saya yang merupakan lulusan program studi ilmu komputer di sebuah perguruan tinggi negeri di Sumatera Utara. Saya sempat uring-uringan. Laptop tua milik saya tidak mampu lagi beroperasi secara normal. Dibawa ke tempat servis langganan berkali-kali, keadaannya tak jua kunjung membaik. Sampai pada satu hari, abang tukang servis pun angkat tangan. Dia menyarankan saya untuk membeli laptop baru.
Setelah selama lebih dari 10 tahun menemani kesibukan saya, laptop core 1.3 yang saya beli di tahun 2007 itu harus menerima nasibnya diganti. Bagi kebanyakan orang, laptop mungkin hanyalah piranti tak bernyawa, sehingga tidak terlalu menimbulkan masalah apabila harus diganti dengan yang baru. Namun, bagi saya, prinsip itu tidak berlaku. Pertama, laptop tua itu saya beli dengan uang saya sendiri hasil menabung gaji beberapa bulan saat masih kuliah sambil bekerja sebagai tenaga pengajar bimbingan belajar. Kedua, dengan laptop itulah saya menghilangkan rasa penat dengan bermain dua game favorit saya: Football Manager 2007 dan PES 2008.
"Gara-gara tiap hari kau paksa main game itulah makanya laptopmu jadi kayak gini," ujar adik saya. Apa yang dikatakan adik saya itu benar. Saya sudah melakukan kerja paksa. Hampir setiap malam selama berjam-jam, laptop itu saya pakai. Akhirnya, jangankan main game, untuk keperluan mengajar seperti membuat powerpoint presentation dan mengetik materi ajar plus soal-soal ujian pun, laptop itu benar-benar lemot.
Tak lama kemudian, sang pengganti pun datang---Lenovo ideapad 330. Sebuah keputusan yang teramat sulit ketika itu. Terus terang, awalnya saya tidak memiliki kesan apa-apa dengan 'sang laptop baru.' Sebab speknya masih di bawah laptop lama saya. Segala jenis game---mulai dari yang 'berat' sampai 'ringan' sengaja tidak saya install.
Selain karena ketidakmampuan laptop lama saya beroperasi sesuai ekspektasi, ada dua alasan kuat lainnya dibalik keputusan membeli laptop baru pada awal tahun 2018 lalu. Â Pertama, anak saya yang pertama baru lahir. Saat itu, saya dan istri mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk persalinan dan keperluan buah hati kami. Maklum saja, rumah sakit tempat istri saya melahirkan belum bekerja sama dengan BPJS. Oleh karena itu, saya harus mencari laptop yang terjangkau isi dompet.Â
Kedua, saya mendapatkan pekerjaan tambahan sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi swasta. Pagi sampai siang saya mengajar di sekolah, petang harinya saya mengajar di kampus yang mahasiswanya hampir seratus persen adalah para pekerja kantor. Mau tidak mau, saya harus lebih banyak berkutat di depan laptop untuk menyusun materi ajar dan urusan adminstrasi. Â
"Kalau cuma untuk keperluan mengajar, spek kayak gini udah cukup itu, Bang," ucap adik saya saat itu sambil menunjuk pada Lenovo ideapad 330 berwarna silver. Dia memang selalu saya andalkan untuk urusan seperti ini. Ekspresi saya datar.Â
Kehilangan laptop lama membuat saya terlalu galau. Namun, siapa sangka di balik penampilan dan kemampuannya yang sangat 'bersahaja', Lenovo ideapad 330 berhasil membantu menyingkap potensi yang saya miliki dan menyingkirkan kebiasaan-kebiasaan buruk nan tak bermanfaat, menjadi sesuatu yang bernilai secara ekonomi. Meniru ucapan orang Inggris, "Lenovo ideapad 330 has successfully unleashed limitless possibilities inside me."
Menulis dan Mengajar
Tahun 2018 menjadi salah satu tahun yang paling unik sekaligus berkesan bagi saya. Betapa tidak, selain karena kami dianugerahi seorang anak laki-laki yang tampan, bertambahnya tanggung jawab sebagai kepala keluarga membuat saya pelan-pelan lepas dari kecanduan bermain game.