Zaman baru menghadirkan tantangan baru, istilah yang tidak begitu asing. Seiring berkembangnya jaman tantangan yang dihadapi semakin sulit untuk dikenali secara fisik. Meski saat ini tengah terjadi perang, Rusia mencoba ambil alih Ukraina, namun ancaman yang telah terjadi tanpa banyak yang sadar adalah ancaman media sosial.Â
sekitar 5 tahun yang lalu ketika Jusuf Kalla masih menjabat sebagai wakil presiden mendampingi Jokowi, terjadi demonstrasi besar-besaran di jakarta yang bermuatan penolakan terhadap kemunculan ojek dan taksi online yang cukup merugikan ke ojek dan taksi konvensional. menanggapi demo tersebut, jusuf kalla hanya melontarkan reaksi yang cukup sederhana, "Bagaimanapun kemajuan teknologi tidak mungkin bisa kita lawan" tanggapnya kala itu mengenai kemungkinan ojek dan taksi online akan diblokir di Indonesia. Pernyataan yang cukup masuk akal, semakin lama kita semakin dibawa kepada kemajuan teknologi yang membuat hidup lebih mudah.
Di sisi lain, para peneliti telah cukup terlambat menyadari berbagai efek negatif dari keseringan bermain sosial media. Penggunaan sosial media menanjak cukup tajam di tahun 2006 seiring dengan melonjaknya saham facebook, namun penelitian mengungkapkan efek sosial media baru diatas tahun 2010. Tahun 2020 kemarin, para mantan "orang besar" di perusahaan penguasa teknologi dunia diwawancarai dalam sebuah projek film yang berjudul "the social dilemma". Apa yang menarik dari film tersebut adalah pengungkapan bahwa setiap media sosial, apapun itu, tujuannya adalah membuat orang lain betah menggunakannya berlama-lama. Semakin lama media sosial digunakan, maka perusahaan semakin untung. Oleh karena itu, para developer dari masing-masing platform berlomba-lomba membuat semacam ilusi psikologi agar pengguna betah untuk berlama-lama.
Apa yang bisa disimpulkan dari film tersebut adalah fakta sederhana bahwa otak pengguna dimanipulasi sedemikian rupa agar terus-terusan membukan platform mereka. Strategi yang cukup cerdas secara bisnis namun tidak beretika dari sudut pandang kemanusiaan. Pasalnya, salah satu cara yang cukup ampuh adalah dengan membuat gelembung, orang hanya akan melihat hal-hal yang disukainya saja. startegi ini cukup berhasil membuat hoax beserta teori konspirasi menyebar lebih cepat, bayangkan saja bahwa orang yang percaya bahwa bumi datar hanya akan melihat postingan-postingan yang berisi konsep pendukung bahwa bumi memang datar. Â
Seberapa cepat dan tepat cara kita mengantisipasi permasalahan ini akan berdampak cukup besar terhadap generasi masa depan kita. Jangan biarkan mereka terlalu menykai penggelembungan di media sosial, untuk berkembang kita sangat membutuhkan wawasan yang baru dan cara pandang yang cukup berbeda. Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, percakapan langsung sepertinya masih sangat dibutuhkan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H