Mohon tunggu...
Dechika Anjeli
Dechika Anjeli Mohon Tunggu... Mahasiswa - UPN "Veteran" Yogyakarta

Mahasiswi jurusan Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Metaverse

Trend Digital di Balik Ledakan Konsumerisme Modern terhadap Popularitas Fast Fashion

8 Desember 2024   16:15 Diperbarui: 8 Desember 2024   16:19 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Joint The Fashion Revolution (Source : Jacopo M. Raulle at Getty Images)

Aktivitas digital yang terus berjalan dengan perkembangan teknologi yang terus menerus mendorong kita untuk berinteraksi dalam dunia maya telah melibatkan banyak hal dalam berbagai aspek, salah satunya di dunia fashion. Aktivitas sederhana yang hanya kita lakukan lewat dunia maya nyatanya memberikan dampak menyakitkan berlebihan yang terjadi secara nyata. Ketika kita hidup di era dimana pakaian menjadi komoditas sekali pakai. Fast Fashion pun telah mengubah mode dari bentuk ekspresi diri dan perlombaan mengikuti trend yang tak berujung. Sehingga ini menimbulkan pertanyaan apakah kita benar - benar membutuhkan pakaian baru atau hanya menjadi korban dari mesin konsumerisme yang terus berputar?


Revolusi Digital dalam Industri Fast Fashion

Belakangan ini fast fashion tengah menjadi isu yang hangat di masyarakat internasional, dikarenakan dampaknya yang begitu merugikan bukan hanya terhadap lingkungan namun juga terhadap kelangsungan masyarakat global. Fast fashion sendiri merupakan istilah yang digunakan dalam industri tekstil untuk menggambarkan produksi model fashion yang begitu cepat berganti hanya dalam waktu singkat. Penggunaan bahan baku yang berkualitas rendah, cenderung tidak awet membuat konsumen cenderung untuk membeli pakaian tersebut lagi, sehingga hal ini akan berlangsung terus menerus. Sehingga tidak hanya menciptakan gaya hidup konsumtif namun juga berdampak pada hak lingkungan serta hak pekerja yang layak. Dimana pekerja di industri ini hanya dibayar kurang dari $1,58 per jamnya, dimana menurut Departemen Tenaga Kerja AS sekitar 80% kontraktor telah melanggar undang - undang tentang upah minimum dan upah lembur.

Peningkatan fast fashion ini pun tidak serta merta terjadi hanya dikarenakan keberadaan dari fashion itu sendiri, namun juga terjadi karena adanya revolusi digital yang terjadi. Revolusi digital memiliki andil besar dalam meledakkan popularitas fas fashion di dunia internasional. Menurut data yang diterbitkan oleh Unifrom Market terkait dengan statistik Fast Fashion di tahun 2024, bahwa industri ini telah tumbuh 10,74 % dari tahun 2023. Sementara perempuan adalah konsumen terbesar dari fast fashion, dimana sekitar 41% wanita mudah merasa tertekan apabila tidak mengenakan pakaian yang sama dua kali saat berpergian. Hal ini terjadi dikarenakan algoritma yang ada pada platform media sosial dan e commerce yang memicu keinginan para konsumen karena menampilkan produk untuk menciptakan kebutuhan baru yang sebenarnya tidak kita butuhkan. Hal ini terjadi karena terciptanya model bisnis yang begitu dinamis seperti adanya Quick Response Manufacturing dan menciptakan 'produksi masal' agar mengurangi waktu tunggu oleh konsumen. Selain itu dengan adanya perkembangan digital ini meningkatkan kegiatan masyarakat untuk menjangkau apapun dengan mudah lewat berbagai platform yang disediakan. Sehingga masyarakat terjebak dalam pusaran konsumerisme dalam fast fashion.

Peran Media Sosial dalam Mempercepat Tren Mode

Ditengah disrupsi besar-besaran oleh media sosial dalam setiap lini kehidupan manusia, tren fast fashion juga mendapatkan pengaruh yang signifikan. Media sosial memberikan panggung bagi para selebriti maupun influencer untuk mengekspresikan gaya berpakaian dan produk fashion yang mereka gunakan. Hal ini secara otomatis menjadikan mereka sebagai trendsetter yang mempengaruhi keputusan pembelian pengikut mereka. Setiap orang berlomba untuk mengikuti tren fashion idola mereka, di sisi lain para konten treator atau digital influencer juga berlomba-lomba untuk menciptakan tren terbaru dan otentik untuk meningkatkan exposure atau sorotan yang mereka terima. Fenomena ini kemudian menjadi siklus tanpa henti yang menyebabkan perubahan tren yang sangat dinamis dan cepat. Mendorong industri fast fashion untuk semakin marak dan menjamur di mana-mana. 

Para pengusaha juga tidak ingin melewatkan potensi dari influencer dan kekuatan sosial media dalam industri ini. Sehingga mereka berlomba-lomba menggaet kerjasama dengan influencer untuk mempromosikan produk mereka. Dimana di dalam industri ini, atensi dan sorotan publik menjadi elemen utama yang selalu dicari. Salah satu fenomena yang bisa dilihat adalah bagaimana salah satu brand fashion asal indonesia, ERIGO-X yang didukung oleh Tokopedia sukses mempresentasikan koleksinya di panggung NYFW 'The Show' Spring/Summer 2023 yang dilaksanakan di Springs Studios, New York City. Dari acara ini, kemudian menjadi salah satu titik loncatan tertinggi yang dimiliki oleh Erigo untuk kemudian tidak hanya mendunia, namun juga mengokohkan posisinya dalam industri fast fashion tanah air. 

Dorongan Impulsive Audiences

Dengan adanya perkembangan teknologi digital  yang begitu pesat, sehingga meningkatkan pula tata cara masyarakat digital berbelanja sehingga membuat kerentanan terhadap pembelian impulsif. Perilaku ini didorong oleh adanya Social Commerce, dimana semakin maraknya kolaborasi antara merk dan para influencer untuk merekomendasikan produk dan memicu keinginan untuk membeli karena telah melibatkan para publik figur. Kemudian kemudahan dalam live shopping yang memudahkan interaksi penjual dan pembeli secara langsung namun hanya secara online kadang kala menciptakan pengalaman belanja yang lebih menarik dan menyebabkan dorongan untuk melakukan pembelian secara spontan. Kemudian adanya perilaku Fear of Missing Out (FOMO) yang marak terjadi juga dipicu oleh adanya berbagai kemudahan yang disediakan oleh internet. Seperti promosi terbatas yang diberikan untuk menciptakan rasa urgensi untuk membeli barang tersebut secepat mungkin sebelum kehabisan. Serta produksi eksklusif yang mendorong perasaan istimewa pada audiences jika memilikinya. Perilaku ini pun kemudian dioptimalkan dengannya kemudahan transaksi yang menyebabkan belanja online menjadi semakin mudah dan cepat sebagai bentuk dari digitalisasi tersebut. 

Sebagai generasi yang saat ini begitu melek dengan dunia digital, Generasi Z adalah orang terjebak diantara dua pilihan. Sebab saat ini Gen Z tetap menginginkan lingkungan yang berkelanjutan namun tidak dapat untuk meninggalkan trend fast fashion ini. Sehingga ini menjadi paradoks diantara para konsumen saat ini. Revolusi digital pun telah mengubah wajah industri mode secara drastis, dan menimbulkan era fast fashion yang begitu konsumtif. Di satu sisi teknologi telah mempermudah akses fashion dan menciptakan pengalaman belanja yang menyenangkan, namun ternyata hal ini memberikan dampak menyakitkan untuk sesama kita. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Metaverse Selengkapnya
Lihat Metaverse Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun