Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dulu rajin mengunggah hasil auditnya di website mereka, BPK.GO.ID. Mereka punya istilah teknisnya, yaitu "hasil pemeriksaan". Sesuai prosedur standar mereka, pemeriksaan dilakukan terhadap Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah (APBD) maupun Anggaran Belanja dan Pendapatan Nasional (APBN). Dengan demikian, warga yang bisa akses Internet (jadi, bukan rakyat keseluruhan), bisa mengunduhnya dan memanfaatkannya untuk aneka kepentingan. Hak publik untuk tahu, right to know, jadi terpenuhi. Pegiat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), misalnya, bisa memanfaatkan buat memelototi bagaimana APBD dikelola oleh penguasa. Wartawan, misalnya lagi, bisa mengolah informasi dari situ untuk bikin berita berbasis lacakan dokumen, bukan sekadar asal kutip omongan pejabat, entah penting atau membual. Memang ada kemungkinan data dari situ disalahgunakan untuk, misalnya, memeras pejabat yang lembaganya disoroti dalam data itu. Kalau ada anomali demikian, sesungguhnya konsekuensi biasa saja dari prinsip transparansi pengelolaan anggaran rakyat yang ditarik dari macam-macam pajak. Biarkan saja. Kalau memang ada bukti memeras, misalnya, tinggal dipidanakan. Urusan beres. Tapi sekarang, BPK justru tak transparan lagi. Hasil pemeriksaan mereka yang diunggah hanya berupa ikhtisar, sebagaimana terdapat pada laman ini. Namanya ikhtisar, tentu saja bersifat ringkas. Ia tak detail. Informasi yang tak gamblang bisa menyebabkan disinformasi. Ini tak bagus buat warga. Korupsi menemukan lahan untuk berkembang yang paling subur dalam kegelapan informasi. Mungkin memang sudah ada kasus yang mengakibatkan BPK jadi berlaku demikian. Taruhlah ada pengaduan dari banyak pejabat pusat maupun daerah yang merasa kerepotan menghadapi kecerewetan kaum pengawas anggaran keuangan pemerintah. Kalau memang begitu, saya tidak tahu. Wartawan, mestinya, memang kudu angkat bicara soal ini besar-besar. Betul bahwa wartawan biasanya tetap bisa mengakses hasil pemeriksaan itu beberapa saat setelah BPK menyerahkannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Biasanya diserahkan dalam bentuk compact disc. Tapi karena pokok bahasannya di situ sangat banyak, tak banyak wartawan yang tekun memelototi untuk kemudian dijadikan bahan berita. Jadi, ada apa dengan BPK?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H