ISU GENDER DI INDIA
India merupakan negara dengan meleburnya berbagai budaya dan agama; dengan masuknya orang-orang dari seluruh dunia secara terus menerus, masyarakat tetap dalam perubahan dan kemajuan yang konstan. Munculnya Inggris pada abad ke-15 di India menandai perubahan mendasar dalam kehidupan dan perilaku masyarakat. Perubahan ini juga membawa perubahan besar pada sistem hukum India. Masyarakat India yang telah mengalami perubahan drastis sejak zaman Weda, telah membatasi beberapa hak perempuan dan membatasi partisipasi perempuan dalam kehidupan publik. Beberapa perubahan dalam masyarakat yang utama adalah dalam sistem hukum India dan dalam mempersatukan India sebagai satu bangsa dengan satu hukum. Proses memperkenalkan hukum progresif di British India dimulai pada tahun 1829 ketika Gubernur Jenderal India William Bentick menghapus praktik jahat Sati. Meskipun diberlakukan undang-undang yang ketat di India, status perempuan tidak banyak berubah di wilayah pedesaan. Konsep kesetaraan masih dalam tahap awal di bidang-bidang ini, dengan perempuan dianggap sebagai milik keluarga dan kehormatan mereka. Pola pikir ini telah menyebabkan pembunuhan beberapa perempuan atas nama kehormatan keluarga dan telah menghancurkan beberapa keluarga. Kejahatan dan diskriminasi berbasis gender lazim tidak hanya di dusun-dusun di India tetapi di seluruh pelosok India.
Kesetaraan gender selalu menjadi konsep yang sulit dipahami dalam sejarah, diinjak-injak dengan rintangan dari pemikiran sempit masyarakat yang mengambil kesenangan yang sangat besar dalam menekan hak-hak perempuan, bahkan badan peradilan tetap mengabaikan hak-hak perempuan. Dalam Bradwell v. State of Illinois Hakim Bradley dari Mahkamah Agung AS berkata, “Sifat takut-takut dan kehalusan yang wajar dan yang dimiliki oleh jenis kelamin perempuan ternyata tidak cocok untuk banyak pekerjaan dalam kehidupan sipil. Nasib dan misi permanen seorang perempuan adalah memenuhi tugas istri dan ibu yang mulia dan ramah. Pada awal tahun 1908, Mahkamah Agung AS, dalam Muller v. Oregon, menyadari pentingnya peran perempuan dalam kehidupan sosial dan dinyatakan “Bahwa struktur fisik perempuan dan kinerja fungsi keibuan menempatkannya di kerugian untuk penghidupan sudah jelas". Sejarah mengungkap fakta bahwa perempuan selalu bergantung pada pria. Kesetaraan bagi perempuan diakui di India sejak tahun 1925, The Commonwealth of India Bill, 1925, dalam klausul 7 menuntut kesetaraan di depan hukum dan dengan ketentuan bahwa "tidak ada diskualifikasi atau disabilitas atas dasar hanya jenis kelamin", bersama dengan ketentuan bahwa semua orang memiliki hak yang sama untuk menggunakan "jalan, pengadilan, dan semua tempat bisnis atau resor yang didedikasikan untuk umum". Dua dari putusan yang paling menonjol dari kasus Mahkamah Agung Sabarimala dan kasus Tiga Talaq telah mengakhiri praktik pembatasan hak-hak perempuan berusia seabad, pengadilan mengakui adat istiadat dalam definisi 'hukum' sesuai Pasal 13 (3) (a) dari Konstitusi tetapi menyatakan praktik tersebut batal sesuai Pasal 13 (1), yang ditemukan melanggar Hak-Hak Fundamental.
Berdasarkan dari laporan Indeks Ketidaksetaraan Gender (GII) yang dipaparkan oleh UNDP di tahun 2018, India menempati urutan ke 122 dimana 11.7% bangku pemerintahan ditempati oleh perempuan. Hal tersebut jauh lebih rendah daripada Bangladesh yang berada di angka 20.3%. Dari tahun 2010 hingga 2018 jumlah perempuan yang mengenyam pendidikan hingga sekolah menengah atas hanya 39%, jauh berbeda dengan jumlah laki-laki yakni di angka 63.5%. Begitu pula dengan tingkat partisipasi dalam menjadi tenaga kerja, perempuan sebanyak 23.6% dimana laki-laki mencapai 78.6%. Angka-angka tersebut jelas memperlihatkan adanya kesenjangan antara perempuan dengan laki-laki di berbagai sektor.
Kasus kesetaraan gender menyebar di berbagai sektor mulai dari di sektor pendidikan, tempat kerja, hingga partisipasi politik di luar atau di dalam pemerintahan. Contoh yang sering kali terjadi pada perempuan di tempat kerja adalah jumlah perempuan yang tidak dibayar lebih banyak dibandingkan laki-laki. Tingkat kemampuan literasi perempuan dari tahun 2001 hingga 2011 juga tidak terlalu signifikan perkembangannya. Padahal kemampuan literasi merupakan bekal utama seseorang untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Hal tersebut kemudian berdampak kepada rendahnya angka representasi perempuan di dalam kursi pemerintahan di India.
Adanya gender gap pada pengenyam pendidikan di India yang dimana masih didominasi oleh laki-laki menyebabkan diskriminasi terhadap perempuan terjadi di tempat kerja dan kurangnya partisipasi politik dari perempuan. Perempuan tidak memiliki pengetahuan maupun edukasi yang lebih tinggi dibanding laki-laki sehingga apabila terjadi diskriminasi seperti di tempat kerja, perempuan tidak dapat melakukan perlawanan karena rendah pengetahuan yang dimiliki. Karena kurangnya pendidikan pun menyebabkan perempuan sulit untuk duduk di bangku pemerintahan dan ikut andil secara langsung dalam pemutusan suatu kebijakan. Oleh karena itu, kebanyakan kebijakan yang dihasilkan akan menguntungkan laki-laki karena sudut pandangnya hanya dari laki-laki sehingga semakin memperpanjang budaya partriarki yang ada disamping itu semakin massif pula diskriminasi serta gender gap yang terjadi antara laki-laki dengan perempuan (Krishnaveni, 2017).
Budaya, kultur, serta nilai yang diyakini oleh sebagian besar masyarakat India juga dapat menjadi salah satu penyebab ketidaksetaraan gender di India tetap bertahan lama hingga zaman modern ini. Konstruksi sosial yang menyatakan bahwa setiap tugas, fungsi, peran, dan nilai-nilai yang berasal dari laki-laki dinilai lebih baik dan menguntungkan daripada yang berasal dari perempuan. Ada pula keyakinan terkait dengan pembagian divisi pekerjaan antara laki-laki dan perempuan dimana aktivitas di dalam rumah seperti mengurusi keluarga, memasak, mencuci, dan sebagainya. Sedangkan laki-laki melakukan aktivitas yang di luar rumah misalnya seperti berpartisipasi dalam dunia politik. Hal tersebut menyebabkan berkembangnya hirarki dan pemikiran di berbagai kawasan India bahwasanya laki-laki berada pada nomor satu, sedangkan perempuan di nomor dua (Kassa, 2015). Padahal sebagai negara demokrasi seharusnya perempuan juga memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki mengenai partisipasinya dalam perpolitikan. Dengan adanya partisipasi politik yang aktif dan massif dari perempuan di India, akan meningkatkan kualitas demokrasi di India dan dapat memberikan insight baru untuk kebijakan-kebijakan yang akan dibuat nantinya. Partisipasi perempuan dalam bidang politik di negara demokrasi sangatlah penting. Tidak hanya sebagai pihak yang mendapatkan suara saat pemilihan melainkan juga partisipasi sebagai pihak yang terlibat dalam pembuatan kebijakan dalam pemerintahan secara langsung. Hal tersebut menjadi penting karena tidak ada pihak lain yang akan menyuarakan hak-hak perempuan yang terdiskriminasi apabila bukan dari para perempuan itu sendiri. Dampak utama yang akan terjadi apabila partisipasi politik dari perempuan masih minim adalah ketidaksetaraan gender serta isu-isu diskriminasi terhadap perempuan pun akan tetap kerap terjadi.
Isu kesetaraan gender yang disuarakan oleh para feminist ini bukan berarti antara laki-laki dan perempuan menjadi sama tetapi lebih kepada memberikan kesadaran bahwasanya para perempuan juga memiliki hak-hak untuk berpendapat, hak untuk memilih sesuatu, hak untuk mengenyam pendidikan, dan lain-lain. Tanpa ada kesadaran tersebut, perempuan akan selalu menjadi pihak yang dirugikan tidak hanya di sektor umum seperti tempat kerja dan pemerintahan melainkan juga di sektor-sektor privat seperti rumah tangga. Adanya kesetaraan gender juga merupakan suatu bentuk sistem demokrasi untuk berjalan dengan lancar sehingga dapat menciptakan suatu tata kelola yang baik.
Di dalam karakteristik utama good governance terdapat poin partisipasi yang dimana partisipasi dari laki-laki dan perempuan merupakan kunci utama untuk menciptakan suatu tata kelola yang baik. Dalam tata kelola yang baik menyebutkan bahwa setiap pihak harus berpartisipasi aktif sehingga pemerintah dapat mengeluarkan suatu kebijakan yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya dan masyarakat pun mendapatkan hak mereka (Bundschuh Rieseneder, 2008).
Pelecehan atau pemerkosaan adalah kasus yang sering terjadi bagi kaum perempuan di India. Pada 14 September 2020, seorang perempuan berusia 19 tahun dari kasta Dalit di Negara Bagian Uttar Pradesh, India Utara meninggal dunia. Berdasarkan keterangan pihak berwenang setempat, perempuan itu sebelumnya diduga menjadi korban pemerkosaan ramai-ramai oleh para pria dari kasta atas. Keempat pria tersebut berasal dari kasta atas dan juga telah didakwa berdasarkan hukum karena kejahatan terhadap minoritas.Dan bukan hanya itu, sebelumnya seorang gadis berusia 13 tahun diperkosa dan dibunuh di tempat itu. Kasus lainnya terkait kasta terjadi pada 2018. Seorang gadis berusia 13 tahun dari kasta yang lebih rendah dipenggal kepalanya. Penyerang diduga berasal dari kasta yang lebih tinggi. Sistem kasta sendiri sebenarnya sudah dihapus di India pada 1950, namun masih ada saja yang menerapkannya di beberapa aspek kehidupan.
Menurut Biro Catatan Kejahatan Nasional India, lebih dari 33.000 kasus dugaan pemerkosaan dilaporkan sejak 2018, dengan kata lain kira-kira 91 kasus setiap harinya. Bukan hanya itu saja, perempuan dan anak perempuan di semua negara di Asia Pasifik berisiko mengalami pelanggaran serius terhadap hak asasi mereka, seperti kekerasan dan pelecehan berbasis gender. Peran, sikap dan stereotipe yang kuat juga berarti bahwa banyak orang mengalami kemiskinan, diskriminasi dan akses yang tidak setara ke layanan kesehatan dan sistem pendidikan dan peradilan. Lembaga HAM nasional (NHRI) di kawasan Asia Pasifik telah berkomitmen untuk mengambil langkah konkrit untuk memajukan kesetaraan gender serta memajukan dan melindungi HAM perempuan dan anak perempuan di negaranya masing-masing. Tindakan praktis yang dapat dilakukan oleh NHRI untuk mempromosikan dan melindungi hak-hak perempuan dan anak perempuan. Peluang untuk terlibat dengan mekanisme hak asasi manusia internasional dan regional isu-isu khusus yang menjadi fokus, termasuk hak reproduksi; kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan; dan hak-hak pekerja rumah tangga migran perempuan. Mengintegrasikan fokus pada kesetaraan gender ke dalam pekerjaan dan operasi NHRI.
Perempuan India dalam Dunia Politik
Berdasarkan survei Pew Research Center menujukkan bahwa lebih dari satu dari setiap dua orang India mengatakan bahwa "perempuan dan laki-laki menjadi pemimpin politik yang sama baiknya" dan lebih dari satu dari setiap sepuluh orang percaya bahwa perempuan pada umumnya menjadi pemimpin politik yang lebih baik daripada laki-laki. Survei dilakukan terhadap 3.000 responden orang dewasa di seluruh negeri bertujuan untuk mengetahui sikap orang India terhadap peran gender. India memiliki politisi perempuan mumpuni dengan beberapa dari mereka berhasil naik ke posisi politik teratas secara nasional dan regional, termasuk presiden dan perdana menteri.