Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas telah nyata bahwa perkawinan dilakukan berdasarkan satu agama dan kepercayaannya dari pasangan itu sendiri. Terutama menurut ajaran agama Islam bahwa jika seorang laki-laki dan seorang perempuan yang berada dalam perkawinan kemudian mereka menjadi berbeda agama (pihak yang satu muslim sedangkan pihak lainnya non-muslim) maka seketika itu juga secara otomatis pasangan tersebut sudah bukan sebagai suami dan istri lagi.Â
Perhatikan QS.Al-Baqarah: 221, bahwa Allh SWT melarang perkawinan beda agama, dan QS. Al-Mumtahanah: 10, bahwa jika sudah berbeda agama maka hubungannya menjadi haram. Sementara itu Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga sudah mengeluarkan fatwa hukumnya tentang larangan perkawinan beda agama dengan Nomor 4/MUNAS-VII/MUI/8/2005. Adapun surat-surat yang timbul karena adanya perceraian, termasuk akta cerai dari pengadilan, hanyalah bukti formal yang merupakan kelengkapan administrasi.
Terutama bagi yang muslim, mengenai perkawinan sudah sangat jelas diatur di dalam Kompilasi Hukum Islam yang merupakan hasil Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang perintah penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam yang merupakan hasil loka karya ulama Indonesia yang diadakan di Jakarta pada tanggal 2 s.d. 5 Februari 1988 yang terdiri dari 3 (tiga) buku yaitu Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan, dan Buku III tentang Hukum Perwakafan.
Berdasarkan Pasal 40 Kompilasi Hukum Islam (KHI) ditentukan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita bila wanita yang bersangkutan masih terikat dalam perkawinan dengan pria lain, yang masih berada pada masa iddah dengan pria lain, dan/atau yang tidak beragama Islam.Â
Dalam Pasal 44 KHI juga terdapat larangan wanita yang beragama Islam melangsungkan perkawinan dengan pria yang tidak beragama Islam. Bahkan di dalam KHI Bab X tentang Pencegahan Perkawinan dalam Pasal 61, dikatakan bahwa tidak sekufu karena perbedaan agama menjadi alasan untuk mencegah perkawinan.
Bagaimana jika kedua pihak adalah non-muslim (bukan yang beragama Islam) namun berlainan pula agama dan keyakinannya?
Yang perlu kita ketahui, mengerti, dan pahami adalah bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 bukan hanya mengatur warga negara Indonesia yang beragama Islam melainkan juga yang beragama Katholik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu. Aturan lebih lanjut mengenai kehidupan perkawinan pada kelima agama yang disebutkan terakhir itu dikembalikan kepada ajaran agama dan kepercayaannya itu.
Pada intinya, untuk mencapai makna perkawinan yang sebenarnya, tidak mungkin akan terjamin jika jalannya (agama dan kepercayaannya itu) berbeda. Penulis tegaskan lagi bahwa suatu perkawinan itu adalah menyatukan dua orang (laki-laki dan perempuan) dalam satu keyakinan agama dan menjalankan kehidupan berumah tangganya itu berdasarkan ajaran agama dan kepercayaannya yang sama.
Tidak boleh terjadi dalam satu rumah tangga menjalankan kehidupan berdasarkan lebih dari satu agama dan kepercayaannya itu. Jika terjadi maka perkawinan tersebut tidak sah. Dan khusus mengenai perkawinan sesungguhnya lebih mengutamakan pada fakta daripada formalitas yang berupa berkas administrasi
Ingat bahwa surat atau buku nikah bukan merupakan syarat sahnya perkawinan.
Oleh karena itu, agar pemahaman kita tidak keliru, sebaiknya kita perhatikan lagi perbedaan antara pengertian pernikahan dengan perkawinan