Mohon tunggu...
denny bratha
denny bratha Mohon Tunggu... -

Seorang Jurnalis dan Penggiat Kebudayaan, tinggal di Bekasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bekasi, Kota Para Bandit

26 September 2014   05:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:29 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ritual minum kopi sore saya tiba-tiba berantakan. Berita pencabulan yang dilakukan oknum Satpol PP di kantor Pemkot Bekasi  kepada sepasang ABG membuat bulu kuduk saya merinding sekaligus merasa jijik. Separah itukah perilaku abdi negara yang seharusnya menjadi pengayom masyarakat? Sebegitu mengerikan kah kota dimana saya tinggal?

Hampir saban hari, di media cetak dan elektronik, selalu saja ada berita kriminal di Bekasi. Data Badan Pusat Statisitik (BPS) mencatat, sepanjang tahun 2012 terjadi 3.648 kasus kriminal dengan berbagai jenis kejahatan. Artinya, saban hari rata-rata terjadi 10 kasus kejahatan di Kota Bekasi.

Tindak kriminal yang terjadi terkadang di luar nalar. Penjahatnya, sudah tidak memiliki rasa takut, tidak saja kepada hukum manusia tapi juga kepada Tuhan. Masyarakat mengalami krisis rasa aman. Hilang kepercayaan kepada aparat penegak hukum yang justru mencoreng hukum itu sendiri. Kota ini sudah mirip Kota Para Bandit.

Kisah para Bandit Bekasi sebenarnya sudah ada sejak era kolonialisme. Tahun 1869, sekelompok Petani melakukan pemberontakan kepada kaum partikelir (tuan tanah) dipimpin oleh adalah Pangeran Alibasah atau Bapak Rama. Tepatnya tanggal 05 April 1869, Bapak Rama memimpin 100 orang pasukannya menyerang markas Belanda di Tambun. Dalam pertempuran tersebut, Asisten Residen dan seorang dokter Jawa yang kebetulan bertugas di Tambun terbunuh bersama tujuh orang lainnya. Peristiwa tersebut membuat Pemerintah berang dan menetapkan Bapak Rama sebagai buronan yang paling dicari berserta para pengikutnya.

Setelah sempat lolos dalam beberapa kali penyergapan, Bapak Rama akhirnya tertangkap pada 17 Juni 1869. Tidak kurang dari 302 orang pengikutnya juga ditangkap. Setelah dilakukan penyelidikan, 243 orang dilepas kembali karena dipaksa ikut menyerang Tambun. Dua hari jelang persidangan, Bapak Rama meninggal. Hasil persidangan 29 September 1869 adalah, dua orang dijatuhi hukuman mati dan 19 orang hukuman kerja paksa selama 15 tahun. Peristiwa penyerangan Bapak Rama tersebut kemudian dikenal sebagai Pemberontakan Petani Tambun.

Diawal tahun 1900an, muncul tokoh bernama Entong Tolo, yang membela rakyat miskin di Bekasi. Namun dalam pandangan pejabat Hindia Belanda, Entong Tolo adalah bandit yang harus segera dilenyapkan. Entong Tolo adalah seorang kepala perampok (bandit) yang selalu menggasak harta orang-orang kaya, kemudian hasilnya dibagikan kepada rakyat kecil. Oleh karena itu rakyat sangat hormat dan melindungi keluarga Entong Tolo, walaupun profesinya adalah rampok yang sangat ditakuti pada saat itu, terutama oleh kalangan tuan tanah. (Abdullah, 1985). Entong Tolo berhasil ditangkap Belanda dan dibuang ke Manado sekitar tahun 1913.

Antara tahun 1913 sampai tahun 1922, “Para Bandit” mengorganisir dirinya dalam berbagai organisasi kemasyarakatan, salah satunya adalah Sarekat Islam (SI). Berbagai gerakan protes petani, seperti pemogokan kerja wajib (rodi), memotong rumput dan memotong padi di sawah-sawah yang dikuasai tuan tanah berkewarganegaraan Belanda dan Tionghoa, dipelopori oleh para anggota SI, seperti gerakan protes di kampung Setu tahun 1913 (tanah partikerlir Cakung) dan pemogokan pembayaran cuke (1918). Melalui gerakan tersebut SI menuntut adanya keadilan dalam sistem pengupahan dan perlakuan yang lebih baik, di mana pada saat itu dianggapnya masih sangat rendah dan tidak seimbang dengan harga bahan pokok yang semakin naik.

Untuk meredam gerakan protes dan keresahan penduduk Bekasi, pada tahun 1922 Pemerintah Hindia Belanda menempatkan pasukan militernya dalam jumlah yang banyak di semua kampung di Distrik Bekasi. Dengan cara seperti itu, maka gerakan petani yang diorganisir Para Bandit akan semakin berkurang dan membuat kondisi penduduk Bekasi semakin terjepit.

Kendati demikian, toh tetap saja muncul para Bandit-Bandit baru di Bekasi yang terus bergerak melakukan perlawanan terhadap Belanda sampai Indonesia Merdeka. Kisah heroik Jawara seperti Kong Kisem, Kong Jole, Kong Darip, masih kerap dituturkan secara turun temurun dari generasi ke generasi di Bekasi.

Para tokoh ini melakukan gerakan perlawanan dengan cara mencuri dan merampok harta para tuan tanah. Sebagian hasil rampokan dibagikan kepada rakyat miskin. Dulu, Belanda menyebut para tokoh itu Bandit. Kita menyebutnya Pejuang.

Sekarang, para Bandit mencuri dan merampok untuk kepentingan perut dan syahwatnya. Parahnya, Bandit menjelma menjadi pangreh praja, pengayom masyarakat, berseragam, bersenjata. Menganiaya rakyat kecil, menindas yang lemah, menghisap darah saudaranya sendiri. Mereka benar-benar Bandit !!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun