Mohon tunggu...
Debora Audrey
Debora Audrey Mohon Tunggu... -

Desainer abstrak dari kalangan anak muda merangkap EXO-L modal wifi. Biasanya gemar memandangi yutup dari layar laptop sambil makan Koko Crunch yang sudah lembek. Masih berdoa suatu hari nanti bisa keliling dunia pake kartu gesek aja bersama orang-orang yang Tuhan tempatkan di hidup ini untuk selamanya sampai maut memisahkan Amin.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Wajah Lesu Perkomikan Lokal

17 Mei 2017   14:00 Diperbarui: 17 Mei 2017   14:18 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengulik cerita cantik, saya jadi tertarik untuk sedikit membahas pelopor komik cantik Jepang, yakni Kyandi-Kyandi, atau lebih dikenal Candy-Candy, yang kemudian ‘diadaptasi’ menjadi sinetron Tanah Air 1 dekade yang lalu. Komik itu mengangkat kebudayaan barat dan sangat sukses di masanya meski dikarang oleh mangaka Jepang. Bagaimana bisa? Hal itu dikarenakan penggambaran latar dan hal-hal pendukung lainnya seperti tampilan fisik karakter sangat detil dan mengikuti zaman. Gadis berambut pirang dengan flek di wajahnya, cinta segitiga yang hiperbolis, serta ayah adopsi yang amnesia sangat relevan dengan situasi di Amerika seusai Perang Dunia I. Semua unsur itu perlu didapat melalui riset dan penelitian, yang mana masih kurang dilakoni oleh komikus Indonesia. Konfigurasi antarkarakter pun saya rasa masih kurang greget. Tokoh utama selalu gadis baik dengan antagonis yang luar biasa kejamnya tanpa ada alasan si antagonis bisa membenci tokoh utama yang terlalu baik hati itu. Diperlukan banyak referensi dan inspirasi untuk menciptakan konflik yang berkesinambungan dan masuk akal. Jika komikus lokal hanya latah dengan komik-komik impor lainnya, kapan mereka akan melakukan riset? Apakah bisa kita menonjolkan budaya lokal dengan mengambil materi yang berasal dari budaya asing? Belum lagi penggunaan bahasa yang terlalu puitis untuk ukuran anak remaja akil balig yang tata bahasanya masih berantakan dan bergonta-ganti tergantung mood. Alur cerita komik Indonesia belum terlalu bisa mempermainkan perasaan targetnya sehingga mereka jadi malas membacanya. Apalagi komik-komik lawas yang diterbitkan ulang dengan harga mahal membuat pembaca remaja semakin enggan untuk membelinya, paling tidak komik republished itu hanya berakhir di tangan segelintir kolektor atau fans berat dari masa kejayaannya.

Proses pembuatan komik di Jepang tak terlepas dari deadline, sehingga pengerjaannya melibatkan tim yang besar. Sketsa, penintaan, pewarnaan, bahkan toningwarna dikerjakan oleh orang-orang yang berbeda, sehingga 1 jilid komik dapat diselesaikan dalam jeda yang singkat. Berbeda dengan komikus Indonesia yang kekurangan tenaga, bahkan mungkin kekurangan biaya untuk mencari tenaga pembantu lebih, singkatnya lack of outsourcing. Akibatnya proses pengerjaan lambat dan berpengaruh pada waktu penerbitannya, sehingga mungkinkah promosi yang gencar itu tidak dapat dilakukan oleh komikus itu sendiri? Pembaca yang tidak sabar menunggu, produksi komik yang lambat, jalan cerita yang kurang memuaskan, membuat pembaca meninggalkan komik lokal begitu saja tanpa memiliki loyalitas sedikit pun. Selain itu, proses distribusi yang tidak merata juga menjadi masalah. Contohnya saja komik underground yang diterbitkan diam-diam tanpa dilindungi publisher atau hak cipta dan semacamnya, membuatnya sulit dikenali masyarakat. Padahal peminat komik underground di Indonesia cukup banyak, mengingat cukup banyaknya isu yang dapat dijadikan materi sindiran oleh komikus gerilya kita yang cerdas mulai dari isu politik sampai penyensoran gambar yang berlebihan.

Sebelum mengakhiri opini saya yang tidak senikmat kopi di pagi hari ini, saya dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya komik lokal tidak lesu sedikit pun. Itu hanyalah stigma masyarakat yang terlanjur skeptis dengan produk Indonesia sendiri, sehingga semua segmen bisnis terkesan lesu, anjlok, dan lain sebagainya. Komik lokal memang pernah mengalami penurunan penjualan di masanya, tetapi di sisi lain komik underground diam-diam sedang bersinar pada lapisan masyarakat tertentu. Sangat disayangkan keberadaannya kurang tercium oleh masyarakat luas. Mungkin komik Indonesia yang kejepang-Jepangan di rak toko buku kesayangan anda tersebut tidak mampu bersaing dengan komik Jepang tulen, tetapi komik fotokopi dengan visualisasi seadanya itu jauh lebih melekat di hati masyarakat karena selalu relevan dengan isu kekinian yang berkembang di masyarakat. “Dalam bergaul dengan orang sebangsa, semakin mematuhi aturan masyarakat maka akan semakin populer”, mungkin pernyataan Lewis tersebut dapat menjadi penutup serta sebuah wasiat bagi komikus generasi saat ini dan selanjutnya. Sebelum mendapatkan hati seseorang, pastikan kita dapat membawa diri dengan baik, merangkum kata-kata dengan baik. Ini bukan tentang pendekatan pra-pacaran, tapi tentang membawakan sebuah cerita gambar kekinian yang bersahabat dengan hati anak muda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun