Perekonomian Indonesia, seringkali dihadapkan pada tantangan ketika kondisi ekonmi global melemah. Salah satu dampak yang sering terlihat adalah penurunan penyaluran kredit oleh bank. Fenomena ini dapat dianalisis dari perspektif makroprudensial dan mikroprudensial, yang masing-masing menawarkan pandangan tersendiri terkait penyebabnya.
Perspektif Makroprudensial :
Dari sudut pandang makroprudensial, penurunan kredit oleh bank dapat dianggap sebagai reaksi terhadap memburuknya kondisi ekonomi. Ketika terjadi resesi global, permintaan terhadap barang dan jasa menurun. Hal ini berdampak pada rendahnya penjualan ekspor Indonesia, yang kemudian memperburuk neraca pembayaran negara.
Penurunan permintaan agregat ini juga turut memengaruhi investasi karena investor menjadi kurang optimistis mengenai prospek ekonomi. Lingkungan investasi yang tidak kondusif terjadi karena infrastruktur yang kurang memadai, kepastian hukum yang lemah, serta inkonsistensi kebijakan politik yang membuat bank lebih berhati-hati dalam mengambil risiko, sehingga mengurangi penyaluran kredit.
Selain itu, rendahnya tingkat inflasi juga merupakan sinyal negatif bagi bank. Penurunan inflasi meningkatkan nilai riil uang, yang berarti pinjaman di masa lalu mungkin lebih sulit untuk dilunasi oleh debitur karena nilai uang yang dipinjamkan sebelumnya berbeda dengan nilai saat ini. Hal ini meningkatkan risiko bagi bank dalam memberikan pinjaman.
Bank Indonesia (BI) telah mengimplementasikan kebijakan moneter ekspansif dengan menurunkan suku bunga acuan (BI rate). Namun, respons bank dalam menurunkan suku bunga kredit tidak selalu secepat penurunan suku bunga deposito, dan penyesuaian ini memerlukan waktu yang lebih lama sekitar enam bulan.
PerspektifMikroprudensial:
Dari perspektif mikroprudensial, penurunan kredit juga dapat disebabkan oleh faktor internal bank dan kondisi debitur. Salah satu penyebab utamanya adalah lemahnya permintaan kredit akibat kondisi ekonomi global yang kurang baik. Banyak debitur kesulitan melunasi pinjamannya, terutama karena perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran, yang pada gilirannya menurunkan daya beli masyarakat.
Di sisi lain, fenomena credit crunch, yaitu melemahnya permintaan kredit, juga menjadi tantangan bagi bank. Hal ini sering kali disebabkan oleh perusahaan yang belum sepenuhnya pulih dari dampak krisis, seperti yang terjadi setelah pandemi COVID-19. Kondisi keuangan yang rapuh membuat debitur kesulitan melunasi angsuran, baik pokok maupun bunga, yang memengaruhi pendapatan utama bank dari bunga kredit.
Selain itu, kondisi internal bank juga berperan penting. Kualitas aset yang rendah, meningkatnya kredit bermasalah (non-performing loans/NPL), serta menurunnya modal bank akibat depresiasi dan margin bunga yang negatif, membuat bank kesulitan menyalurkan kredit baru. Dalam menghadapi likuiditas yang berlebih, bank seringkali beralih ke instrumen seperti Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan obligasi negara, yang pada akhirnya mengurangi efektivitas kebijakan moneter BI dalam mendorong kredit.
Penurunan penyaluran kredit saat ekonomi melemah dapat dijelaskan melalui kedua perspektif ini. Makroprudensial menyoroti buruknya kondisi ekonomi secara keseluruhan, seperti defisit neraca pembayaran, inflasi yang rendah, serta kebijakan moneter yang tidak cukup efektif yang menyebabkan bank lebih berhati-hati dalam memberikan pinjaman. Sementara itu, dari sisi mikroprudensial, tantangan muncul dari kondisi internal debitur dan bank, seperti melemahnya permintaan kredit, tingginya NPL, dan melemahnya likuiditas.