Manusia memang sudah ditakdirkan lebih melihat segala yang negatif dan menutup mata pada segala yang positif. Sudahlah, mungkin itu sifat alamiah manusia.
Anda bebas mengatakan (memaki) Jakarta itu apalah dengan segala hak kebebasan Anda, hal itu tak sepenuhnya salah. Tapi suka atau tidak, hampir semua orang yang pernah mengijakkan kaki ke kota ini akan bercerita bangga mereka telah ke Jakarta.
Setidaknya ada satu fitur dari Jakarta yang akan selalu membanggakan Anda sebagai orang yang setidaknya berkunjung ke Jakarta. Entah dari Monumen Naional yang selalu saya bayangkan sebagai patung Liberty-nya kita. Ancol seperti rupa mininya Hawaii. Dufan. Taman Mini Indonesia Indah yang diperwujudkan seperti miniature Indonesia itu sendiri, Kota Tua yang menjadi cermin masa kedudukan Belanda, sempurna dengan suara sepeda ontelnya, Pusat-pusat perbelanjaan mewah yang memutar entah berapa triliun uang yang membawa anda seperti berada di negara-negara di Benua Eropa. Bundaran HI yang seolah tersenyum mesra dibalik kemisteriusannya. Sepanjang Jalan Sudirman yang membentangkan peradaban ekonomi. Gedung Merdeka yang membuat kita bangga kalau kita juga punya Gedung Putih dalam wujud yang tak jauh berbeda. Transjakarta yang membawa kita serasa hidup di negara Jepang. Jika mau melihat wujud kaki di atas tanah itu sendiri berkunjunglah ke Taman Suropati. Pecandu bola di suguhi stadion terbesar di Asia Tenggara, Gelora Bung Karno.
Saya sudah mengunjungi semua tempat itu. Jakarta adalah sebuah perwujudan kota “keren” di Indonesia. Suka atau tidak suka, itulah kenyataannya.
Jakarta menjadikan potongan kecil cabai di dalam mangkuk mie ayam lebih nikmat dibanding tempat lain. Potongan es dalam gelas es teh manis terasa lebih dingin, seperti kehadiran es di padang pasir. Dalam bisu dibungkus diamnya, Jakarta akan memangkas nilai uang dalam kantong kita, tapikan seni terkadang datang dari wujud paling suram.
Percaya atau tidak Jakarta adalah kiblat negara Indonesia.
Bagi saya, jika Indonesia adalah Ibu kandung, maka Jakarta adalah kakak sulung saya. Seringkali seorang adik ingin meniru atau mengikuti kakaknya, bukan karena kakaknya baik, tapi karena kakaknya keren.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H