Guru...
Manusia biasa yang tak luput dari cacat cela...
Sosok yang selalu dipandang rupa dan gerak geriknya...
Sosok yang dituntut untuk mengerahkan seluruh jiwa, raga, dan pikirannya...
Bahkan selalu dituntut menjadi sempurna...
Ya, itulah guru...
Guru dituntut menjadi pribadi yang santun, sopan, bertutur kata yang baik, cerdas, pintar, baik hati, ramah, dan sebagainya. Tak hanya dari sikap saja, penampilan guru pun juga seringkali menjadi perhatian. Bayangkan saja, bagaimana jadinya jika seorang guru mengenakan baju yang robek, kusam, sepatu yang bau, dan rambutnya kusut? Apakah peserta didiknya bisa fokus belajar? Yang ada malah anak-anak akan terpecah perhatiannya. Sebaliknya, jika guru berdandan berlebihan juga bisa memecah perhatian peserta didik.
Guru bukanlah manusia sempurna...
Dibalik kewibawaan dan kepintaran yang tampak dari seorang guru, tentunya tetap memiliki kekurangan. Banyak guru yang bisa menasehati anak-anak dengan lihai, namun sebenarnya dalam kehidupannya sehari-hari guru ini tidak benar-benar menjalankannya. Contohnya guru menasehati supaya harus berkata jujur. Apakah dalam kehidupan sehari-hari guru tersebut selalu berkata jujur? Jawabannya bisa ya, bisa tidak. Contoh lain misalnya guru melarang peserta didik merokok. Apakah yakin 100% semua guru tidak ada yang merokok? Saya yakin pasti ada guru yang kalau di luar sekolah merokok. Banyak guru yang memang memiliki kepribadian yang sangat baik, namun banyak juga guru yang hanya menjalankan profesinya sebagai sebuah tuntutan pekerjaan. Hanya melakukan kebaikan di dalam sekolah, namum ketika di luar sekolah ya kembali melakukan hal-hal yang tidak baik.
Lantas, bagaimanakah kita menjadi sosok guru yang benar-benar bisa "digugu" (dipercaya) dan "ditiru" (dicontoh)?
Menjadi pribadi yang "digugu" memiliki makna bahwa seorang guru haruslah bisa dipercaya dan segala perkataan serta perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan "ditiru" berarti guru dapat menjadi contoh dan teladan bagi banyak orang.
Apakah mudah?
Mungkin mudah jika guru sekadar membangun citra semata. Yang penting di depan orang terlihat baik, padahal aslinya buruk. Apakah sebuah pencitraan semata yang diperlukan guru? Tentu tidak ya. Kita sebagai guru memang harus memiliki citra yang baik, namun bukan berarti pencitraan semata.
Jadilah guru yang benar-benar menghidupi sosok guru. Ketika kita meminta anak-anak berkata yang baik, ya sebagai guru kita juga harus berkata yang baik. Tidak malah mengeluarkan kata-kata kasar, membentak, mencemooh, dan sebagainya. Jika kita meminta anak-anak untuk jujur, ya kita juga harus benar-benar melakukan kejujuran dalam hidup sehari-hari kita. Â Bukan sekadar ketika di depan peserta didik, kepala sekolah, maupun orang tua peserta didik saja kita bersikap dan bertutur kata yang baik. Namun, hidupilah sosok guru dalam kehidupan kita.
Mungkin bapak ibu berpikir, "wah idealis sekali ya.", atau "ngomong aja sih gampang, menjalaninya yang susah".
Wahai bapak ibu, marilah kita sadari bahwa guru adalah pembelajar sepanjang hayat. Saya pun juga masih dan selalu berada dalam fase belajar. Jadi yuk kita sama-sama belajar menghidupi sosok guru dalam kehidupan kita supaya kita bisa benar-benar menjadi guru yang "digugu" dan "ditiru" bukan pencitraan atau omong doang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H