Mohon tunggu...
Rangga Sudarma
Rangga Sudarma Mohon Tunggu... -

MANAGING BASIC EDUCATION

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tabuik, Tradisi Syi’ah dan Kekayaan Budaya Minangkabau

21 November 2012   06:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:57 770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1353478458764069510

Pesta Budaya Tabuik Piaman adalah perayaan lokal dalam rangka memperingati hari Asyura (10 Muharam), gugurnya Husein bin Ali, cucu nabi Muhammad Saw, yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau di pesisir pantai Sumatera Barat, tepatnya di Kota Pariaman. Festival ini merupakan core event pariwisata nasional dan merupakan salah satu kekayaan budaya Minangkabau.

Tidak ada catatan tertulis sejak kapan upacara tabuik (Bengkulu: tabot) mulai dikenal di Indonesia. Namun, catatan dari Snouck Hrgronje, seorang peneliti pranata Islam di masyarakat pribumi Hindia-Belanda (sekarang Indonesia) memiliki derajat kesahihan yang paling tinggi jika dibandingkan dengan berbagai versi cerita mengenai asal-usul perayaan tabuik di Pariaman. Bahwa tradisi unik yang diadakan tiap tahun pada sepuluh hari pertama bulan Muharram ini dibawa oleh para tukang yang membangun Benteng Marlborought (1718-1719) di Bengkulu. Mereka, didatangkan oleh Inggris dari Madras dan Bengali di bagian selatan India.

Jauh berbeda dengan eforia (senang berlebihan) perayaan tabuik yang identik dengan keramaian, pawai, dan berbagai atraksi tari-musik, ternyata perayaan tabuik hakikatnya sebuah ritual keagamaan penganut Syi‘ah. Bertujuan untuk memperingati peristiwa wafatnya cucu Nabi Muhammad SAW yang dibantai. Ketika Hassan bin Ali yang wafat diracun dan Husein bin Ali yang gugur dalam peperangan dengan pasukan Ubaidillah bin Zaid di padang Karbala, Iraq tanggal 10 Muharam 61 Hijrah (681 Masehi). Tubuh Husain bin Ali yang sudah wafat dirusak dengan tidak wajar.

Inti dari upacara tabuik adalah untuk mengenang upaya pemimpin Syi'ah dan kaumnya ketika mengumpulkan potongan tubuh Husein bin Ali. Penganut Syi‘ah percaya bahwa jenazah Husain bin Ali diusung ke langit menggunakan Bouraq dengan peti jenazah yang disebut tabuik di kala itu. Kendaraan Bouraq yang disimbolkan dengan wujud kuda gemuk berkepala wanita cantik (bagian utama bangunan tabuik).

Seiring berkembangnya waktu, kebiasaan itu akhirnya mengalami asimilasi dan akulturasi dengan budaya setempat, dan kemudian diwariskan dan dilembagakan menjadi apa yang kemudian dikenal dengan Pesta Budaya Tabuik Piaman yang diadakan di Pariaman danFestival Tabot yang diadakan di Bengkulu.

Jika awalnya upacara tabuik digunakan oleh orang-orang Madras dan Bengali yang berpaham Syi‘ah untuk mengenang gugurnya Husein bin Ali bin Abi Thalib, maka setelah terjadi pembauran budaya dengan masyarakat setempat, maka ritual berkabung itu berubah fungsi menjadi festival budaya lokal yang penuh dengan keceriaan. Diselenggarakan tidak hanya oleh garis keturunan orang-orang Madras dan Bengali. Tetapi oleh seluruh unsur masyarat sekitar.

Dua minggu menjelang pelaksanaan upacara tabuik, warga Pariaman sudah sibuk melakukan berbagai persiapan. Mereka membuat aneka makanan seperti kue-kue khas Pariaman. Menurut Halimah dalam situsnya uun-halimah.blogspot.com, prosesi panjang tabuik diawali dengan membuat tabuik di dua tempat, yaitu di pasar (tabuik pasa) dan subarang (tabuik subarang). Masing-masing terdiri dari dua bagian (atas dan bawah) yang tingginya dapat mencapai 12 meter. Bagian atas mewakili keranda berbentuk menara yang dihiasi dengan bunga dan kain beludru berwarna-warni. Sedangkan, bagian bawah berbentuk tubuh kuda, bersayap, berekor dan berkepala manusia.

Bagian bawah itu mewakili bentuk burung Buraq yang dipercaya membawa Husein bin Ali ke langit menghadap Yang Kuasa. Kedua bagian ini kemudian disatukan. Caranya, bagian atas diusung secara beramai-ramai untuk disatukan dengan bagian bawah. Setelah itu, berturut-turut dipasang sayap, ekor, bunga-bunga salapan dan terakhir kepala. Untuk menambah semangat para pengusung tabuik biasanya diiringi dengan musik gendang tasa. Penyatuan dua bagian tabuik (atas dan bawah) biasanya usai menjelang waktu shalat dzuhur tiba. Kedua tabuik tadi dipajang berhadap-hadapan dan merupakan personifikasi dari dua pasukan yang akan berperang.

Ba’da Ashar, kedua tabuik diarak keliling Kota Pariaman. Masing-masing tabuik dibopong oleh delapan orang pria. Arak-arakan berlanjut hingga ke Pantai Gandoriah. Di tempat ini kedua tabuik diadu, untuk menggambarkan situasi perang di PadangKarbala. Usai diadu, kedua tabuik dibuang ke laut. Prosesi membuang tabuik ke laut ini melambangkan dibuangnya segala silang sengketa di masyarakat. Sekaligus, melambangkan terbangnya burung Buraq membawa jasad Husein ra ke Surga.

Selama sepuluh hari (1-10 Muharam), digelar pula berbagai penampilan seni budaya anak Nagari Pariaman, yakni Rabab Pariaman, Gandang Tassa, Randai, Lomba Baju Kuruang, Puisi dan Tari Minang. Selain itu digelar bazar dan pameran aneka produk usaha kecil dan menengah serta komoditi ekspor dari Pariaman. Ratusan ribu pengunjung berdatangan selama pesta "tabuik", baik wisatawan Nusantara maupun mancanegara.

Upacara ritual tabuik sebagai seluruh produk kebudayaan tentunya menambah keunikan kebudayaan Minangkabau. Bertitik tolak pada interpretasi dari kenyataan-kenyataan sejarah tabuik dan hubungannya dengan kondisi obyektif masyarakat Minang, Pesta Budaya Tabuik Piaman akhirnya menjadi salah satu bentuk kesenian daerah yang punya keunikan tersendiri bagi kekayaan budaya bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun