Pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia (HAM) yang sudah selayaknya didapatkan oleh masing-masing individu. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 31 Ayat 1 yang berisi “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan” dengan sangat jelas memberikan makna bahwa setiap masyarakat secara tak terkecuali berhak untuk memeroleh pendidikan yang layak.
Dilansir dari data hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA), pada tahun 2018, Indonesia berada pada urutan bawah ketimbang negara-negara lain di dunia, terkait dengan kompetensi pendidikan. PISA merupakan metode penilaian internasional yang berperan sebagai indikator kompetensi siswa Indonesia pada tingkat global. Penilaian kompetensi siswa diukur dari aspek membaca, yang mana Indonesia berada di peringkat ke-72 dari 77 negara, kemampuan matematika pada posisi ke-72 dari 78 negara, dan sains di posisi ke-70 dari 78 negara, stagnan selama 10-15 tahun terakhir. Padahal, 20% dari APBN Indonesia (sebesar 505,8 triliun Rupiah) dialokasikan untuk pendidikan (databoks.katadata.co.id, 2020).
Kedua fakta di atas menunjukkan bahwa pengalokasian belanja negara yang sudah tergolong cukup besar masih belum cukup untuk mengatasi permasalahan dalam pendidikan, seperti kompetensi siswa. Menurut KBBI, kompetensi merupakan kemampuan menguasai gramatika suatu bahasa secara abstrak atau batiniah. Tidak hanya terkait dengan kompetensi siswa yang perlu menjadi perhatian, tapi juga mengenai aksesibilitas.
Aksesibilitas merujuk kepada keterjangkauan atau tingkat kemudahan untuk diakses. Dalam konteks ini, aksesibilitas pendidikan masih menjadi salah satu masalah di dalam dunia pendidikan di Indonesia, karena masih sulitnya masyarakat menjangkau pendidikan beserta segala fasilitas yang diperlukannya untuk belajar.
Menurut Carneiro dalam Finnie dan Mueller tahun 2008, terdapat dua dasar pemikiran mengenai aksesibilitas, yaitu aksesibilitas keuangan, berkaitan erat dengan kemampuan individu, seperti misalnya dalam biaya pendidikan, dan aksesibilitas fisik yang mengarah kepada usaha manusia dalam mendapatkan kesempatan berpendidikan, seperti memakai waktu yang ada untuk bekerja agar dapat memenuhi biaya pendidikan dan faktor pendukung lainnya, seperti transportasi sebagai fasilitas yang mendukung mobilitas. Aksesibilitas pendidikan merupakan kemudahan yang diberikan dan menjadi hak dari setiap individu untuk dapat menjangkau ketersediaan peluang dalam berpendidikan. Kemudahan tersebut merujuk kepada pemerataan dan ketersediaan alat maupun fasilitas, sebagai faktor pendukung dari kegiatan belajar-mengajar yang berlangsung.
Permasalahan aksesibilitas pendidikan di Indonesia, khususnya dalam penyediaan fasilitas yang mendukung proses pembelajaran, masih menjadi hal yang serius dan belum tertangani dengan baik, terutama pada saat pandemi COVID-19 yang kini melanda bangsa. Pada saat pandemi COVID-19 ini sedang menerpa, kegiatan belajar-mengajar tatap muka (offline) memang resmi ditiadakan dan diganti dengan proses belajar daring (online). Pada era yang canggih akan teknologi dan informasi, masyarakat seolah diharuskan untuk dapat menggunakan dan menguasai teknologi ini. Sama halnya dengan proses belajar yang terus akan berkembang dan “memaksa” para pelajarnya untuk dapat memanfaatkan teknologi yang ada, seperti gadget dan fitur-fitur pendidikan lainnya. Memang, pemerintah sudah mengupayakan berbagai hal untuk melancarkan proses pembelajaran daring yang dijalankan dan sebagai cara agar aksesibilitas pendidikan secara fisik dapat terpenuhi dan secara finansial pun terbantu, semisal dengan pemerintah bekerja sama dengan operator telekomunikasi yang kemudian mengeluarkan berbagai kemudahan dengan memberikan kuota sebesar 30 GB untuk mengakses platform e-learning yang tersedia.
Meskipun begitu, nyatanya upaya tersebut tidak cukup membantu masyarakat yang berada di daerah yang terpencil dan masih sulit aksesibilitas. Dilansir dari beberapa media nasional, banyak siswa mengalami kendala saat hendak mengikuti kelas belajar online, bahkan ada pula siswa yang tidak memiliki gawai, kuota internet, jaringan televisi untuk menonton siaran pendidikan di salah satu stasiun televisi Indonesia, yakni TVRI, bahkan yang paling parah, lingkungan tempat tinggal siswa tidak tersentuh listrik. Keterbatasan yang dialami juga karena pengaruh ekonomi keluarga yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan akan fasilitas pendukung, bahkan mereka terpaksa harus berutang kepada orang lain demi mengikuti proses pembelajaran. Tidak hanya pihak siswa beserta orang tua yang sulit menghadapi kondisi seperti ini, tapi juga pihak pengajar. Pada akhirnya, inisiatif dari para guru itulah yang menjadi jalan keluar “terbaik” sementara demi siswa yang dididiknya dapat belajar dan tidak tertinggal materi yang sedang berlangsung.
Kasus ini berkaitan erat dengan teori struktural fungsional (Talcott Parsons) yang menjelaskan bahwa struktur dan pranata sosial berada pada suatu sistem sosial yang terdiri dari elemen-elemen yang saling berkaitan, sehingga dapat tercapai keseimbangan di dalamnya.
Pada dasarnya, fokus utama dari teori struktural fungsional adalah struktur-struktur sosial dan lembaga-lembaga masyarakat berskala besar, antarhubungannya, dan dampak-dampaknya yang memaksa para aktor (penerima pasif dari proses sosialisasi yang dilakukan). Adapun tujuan dari teori ini adalah untuk membangun suatu sistem atau struktur sosial, melalui pengkajian terhadap pola hubungan yang berfungsi antara individu-individu, kelompok-kelompok, atau institusi-institusi sosial yang ada di dalam suatu masyarakat.
Di dalam jurnal artikel yang dibahas oleh Marzali (2014), teori ini memiliki analisis fungsional, yang didefinisikan sebagai solusi terkait dengan hubungan antara item sosial dengan operasi keseluruhan sistem sosial yang ada, misalnya keterkaitan suatu institusi sosial dengan kerja dari sistem sosial yang ada di masyarakat. Asumsinya bahwa setiap struktur dalam sistem sosial haruslah fungsional terhadap yang lain. Struktural fungsional memandang bahwa masyarakat luas akan berjalan dengan normal jika masing-masing elemen atau institusi menjalankan fungsinya dengan baik.
Sistem pembelajaran siswa pada tahun ajaran ini berubah akibat dari virus corona (COVID-19) dan dampak dari virus inilah yang kemudian mengganggu fungsi dari sistem yang ada. Menurut KBBI, sistem didefinisikan sebagai perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. Sistem pembelajaran tatap muka menjadi sistem yang selama ini sudah biasa dijalankan oleh para institusi, baik sekolah maupun universitas. Namun ketika COVID-19 mulai masuk ke Indonesia beserta wilayah-wilayah di dalamnya, virus ini membuat banyak sistem – yang sudah terencana – terpaksa harus diubah. Pembelajaran yang ada kemudian menggunakan teknologi informasi (online) dengan berbagai macam aplikasi yang menunjang kegiatan belajar-mengajar.