Indonesia memiliki beragam kebudayaan, keragaman ini hadir karena banyaknya suku yang ada di Indonesia. Saya sendiri bersuku Bali dan tumbuh besar di Lampung, terkadang perbedaan budaya juga dapat menimbulkan sebuah konflik di tengah masyarakat. Keberagaman tersebut tidak selalu memberikan dampak positif, seperti halnya uang koin yang memiliki dua sisi berbeda.Â
Tak jarang ketika saya bermain atau beradu argumen dengan teman yang berbeda budaya, percikan-percikan perbedaan itu pasti ada yang membuat saya dan teman saya akhirnya bersalah paham. Namun tidak dalam konteks yang serius,seperti salah satu berita yang pernah saya baca, berita tersebut menceritakan mengenai konflik sampit, konflik ini terjadi antar dua suku berbeda yaitu suku Dayak asli dengan warga migran Madura.Â
Sebelum membicarakan lebih lanjut saya akan memaparkan sedikit tentang apa itu konflik. Menurut jurnal yang saya baca konflik dalam perspektif antropologi yaitu, merupakan fenomena sosial yang tidak terpisahkan dari kehidupan bermasyarakat, terlebih kita sebagai masyarakat yang memiliki banyak suku, budaya maupun agama.Â
Konflik muncul dari dua orang atau kelompok maupun masyarakat yang tidak memiliki kecocokan, tidak hanya itu keterbatasan sumber daya juga bisa menjadi awal munculnya konflik di dalam masyarakat.
Konflik sampit adalah kerusuhan antar dua suku yang terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah pada awal bulan Februari tahun 2001. Dari berita yang ada konflik antar suku Dayak dan Madura bukanlah hal yang baru, karena sebelumnya juga pernah terjadi perselisihan antara dua suku tersebut.Â
Tapi fokus saya saat ini akan membahas mengenai konflik sampitnya saja, lalu apa sebetulnya penyebab dari konflik sampit ini? Dari berita yang saya lihat konflik ini terjadi semakin parah karena adanya perbedaan nilai-nilai kebudayaan, antara suku Dayak dan Madura.
Terjadi kesalahpahaman antara orang Madura dan Dayak, karena kebiasaan dari orang Madura sendiri adalah dengan membawa celurit kemanapun, membuat orang Dayak menganggap hal tersebut sebagai siap untuk berkelahi. Padahal bukan seperti itu maksud dari orang Madura, seperti makna konotasi yaitu dalam tradisi celurit adalah simbol kejantanan laki-laki dan dalam artian lain bentuk celurit mirip seperti tulang rusuk manusia.Â
Agar kejantanan laki-laki tidak berkurang mereka menggantinya dengan celurit yang diselipkan di punggung bagian kiri. Konflik ini semakin menjadi kala seorang etnis Dayak bernama Sandong, tewas akibat luka perkelahian yang dia dapat dan membuat masyarakat Dayak sangat marah. Lalu berakhir dengan saling serang yang membuat sekitar 1.335 orang Madura mengungsi.
Jika saya sambungkan dengan kategori konflik itu sendiri, berdasarkan penampakannya konflik Madura dan Dayak ini termasuk ke dalam konflik permukaan, dimana konflik yang memiliki akar dangkal atau tidak berakar dan muncul karena kesalahpahaman dan sifatnya lebih mudah untuk diatasi melalui komunikasi.Â
Seperti kesalahpahaman yang tadi saya bicarakan di atas, mengenai celurit yang selalu dibawa oleh orang Madura dan dimaknai berbeda oleh orang Dayak. Dan teori yang menurut saya juga cocok adalah teori kesalahpahaman sosial-budaya, dimana menganggap konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara berkomunikasi karena perbedaan latar belakang sosial budaya di antara orang Madura dan Dayak.