Oleh: Debi Abdullah*
Setidaknya, ada ribuan protes mahasiswa dari berbagai macam kampus dan latar belakang yang berbeda. Tentunya, protes-protes itu ditujukan kepada pemerintah dalam upaya pemberdayaan ekonomi dan perbaikan kesejahteraan masyarakat. Belum lagi, protes akibat koruptor yang merajalela, sampai-sampai negeri ini identik dengan istilah ‘sarang korupsi’ bagi masyarakatnya sendiri.
Mahasiswa yang sejak awal diterima oleh sebuah kampus, pasti terkenal dengan orang-orang yang kritis dan mempunyai integritas yang tinggi. Mampu berfikir secara terbuka dengan gaya yang khas di mata masyarakat. Istilah ‘demo’ mungkin tidak terlepas dari jiwa-jiwa mahasiswa, karena ada demo (protes), di situlah mahasiswa berdiri tegak dan berteriak lantang untuk menyuarakan aspirasinya. Suara mahasiswa memang suara rakyat, dan integritas mahasiswa adalah integritas pemuda. Karena pemahaman itulah, mahasiswa gagah berani, merajalela demo sebuah kebijakan.
Namun gagahnya menjadi mahasiswa, tidak terlalu menonjol dengan apa yang lekat dalam benak masyarakat. Masyarakat justru menilai bahwa mahasiswa hanya pandai berdemo, namun tidak memiliki solusi bagi setiap masalah yang ada. Mahasiswa, kata banyak orang, ibarat hanya pintar teori kebaikan, namun tidak pintar dalam berbuat kebaikan. Di sisi lain ada yang menggambarkan, bahwa mahasiswa identik dengan prilaku bebas. Parahnya, mahasiswa bisa dianggap provokator terjadinya bentrokan antar warga, dan lain sebagainya.
Pejamkan mata dan singkirkan dari sekarang anggapan-angapan masyarakat itu. Saatnya mahasiswa membuka mata dan hati untuk bangun solusi dengan kecerdasannya. Bangun hakikat integritas dalam hati dengan pancasila sebagai ideologi negara. Istilah “singsingkan lengan bajumu”, bukan lagi bertindak gragas tanpa arah, namun dengan perhitungan-perhitungan yang matang dan solusi-solusi sesuai dengan dedikasi ilmu yang dipilihnya.
Temukan Solusi Diri
Masalah selalu kian menghadang, baik itu masalah besar setingkat negara maupun masalah diri sendiri. Bagi mahasiswa, masalah negara adalah masalah dirinya, karena dengan begitu dia dapat berprotes ria untuk sekadar berteriak, bahwa “aku tidak setuju dengan kebijakan pemerintah”. Untuk itu, agar memperoleh solusi sebuah masalah negara, tentunya ada cara yang tepat untuk mandapatkanya.
Salah satu yang dipercaya oleh banyak orang, adalah “temukan solusi diri” dahulu, karena dengan mampunyai menemukan solusi diri, mahasiswa sadar akan fungsinya. Tidak perlu gatal untuk berteriak bahwa kebijakan pemerintah itu salah, namun jika mahasiswa sadar akan fungsinya, dia akan berprilaku sesuai analisisnya terhadap kebijakan pemerintah yang menurutnya salah.
Sebagaimana seorang Nelson Mandela, Bung Karno, dan Raden Ajeng Kartini. Para pahlawan itu menjadi orang-orang besar, karena protes kebijakan yang berpengaruh baginya. Nelson Mandela, protes dengan sistem Apharteid di negaranya Afrika Selatan, lalu beliau dipenjara. Dalam bui itu, Nelson menyadarkan bahwa dirinya memiliki fungsi untuk membebaskan negaranya dari Apharteid. Akhirnya dia membuat buku untuk membuka pikiran-pikiran barat (kulit putih) untuk tidak menerapkan sistem Apharteid, karena sistem Apharteid melanggar hak asasi manusia.
Bung Karno yang pernah diasingkan oleh Belanda, mampu dengan cerdas mengambil solusi-solusi di tengah krisis diri yang teransingkan. Dengan usahanya itu, beliau mampu membacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia yang diharapkan masyarakat Indonesia. Kemudian, Raden Ajeng Kartini dengan bukunya “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Buku legendaris itu, menyadarkan kita untuk memperlalukan hak yang sama terhadap perbedaan gender pria dan wanita.
Semua usaha pahlawan-pahlawan itu berawal dengan menemukan solusi dirinya dan menyadarkan fungsinya sebagai orang-orang besar, sehingga mampu menemukan dan melepas masalah besar bagi negaranya.
Demo dengan Tulisan
Besarnya prospek media, baik radio, online, surat kabar, dan televise, saat ini membuka banyak pengetahuan dan wawasan bagi siapa saja yang mendengar, membaca, dan melihat. Dengan peluang-peluang itu, khususnya surat kabar dan media online, diharapkan mahasiswa mampu memanfaatkannya dengan menulis opini atau artikel tentang apa yang diprotesnya. Namun, sesuai visi tulisan ini, bahwa opini dan artikel yang dibuat bukan hanya untuk mengkritisi masalah, tapi menyertakan dengan solusi tepat dan berguna bagi penyelesaian masalah.
Dengan memanfaatkan media, mahasiswa bisa membangun citranya sendiri. Mahasiswa tidak akan lagi dianggap provokator, bebas pergaulan atau anggapan negatif lainnya. Mahasiswa yang demo dengan tulisan, akan dianggap cerdas, karena mampu menulis dengan tujuan membangun, bukan sekadar demo (protes) yang sia-sia tanpa solusi. Dengan tulisan di media pula, mahasiswa mampu mengembangkan diri dengan gagasan-gagasan ‘liar’, namun terarah guna memperbaiki situasi.
Untuk itulah, bagaimanapun juga kita mencari solusi untuk menyelesaikan masalah, bukan untuk membuat masalah menjadi sulit. Lebih baik bagi mahsiswa, menulislah dengan membuat opini atau artikel untuk dikirimkan ke media cetak (surat kabar) maupun media online (portal berita). Sepertinya itu lebih baik dan efektif, dari pada turun ke jalan menuju bangunan yang diprotes dan siap membakar, beteriak, lalu bergandeng tangan lompat-lompat tanpa solusi tepat guna.***
*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Ibnu Chaldun, Jakarta. Penulis Buku “Tinggalkan Akal Pakai Hati”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H