Mohon tunggu...
Debby Cynthia
Debby Cynthia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa / UBL

Hi, saya seorang mahasiswi yang aktif untuk mencari dan mengakses berita terkini

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Hukum dan Kode Etik Komunikasi dari kasus Kekerasan Gender Berbasis Online (KGBO) di Indonesia

2 Januari 2025   17:35 Diperbarui: 3 Januari 2025   21:09 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : mashabel.com

Latar Belakang

           Kekerasan Gender Berbasis Online (KGBO) di Indonesia telah menjadi fenomena yang semakin meningkat, terutama dalam beberapa tahun terakhir. Dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, internet menjadi sarana yang banyak digunakan oleh masyarakat untuk berinteraksi. Namun, di balik kemudahan tersebut, muncul berbagai bentuk kekerasan berbasis gender yang difasilitasi oleh teknologi, termasuk pelecehan seksual, ancaman, dan penyebaran konten intim tanpa izin.

            Data dari Komnas Perempuan menunjukkan bahwa jumlah kasus KGBO mengalami peningkatan signifikan. Pada tahun 2020, tercatat 940 kasus KGBO, meningkat dari 281 kasus pada tahun 2019. Selama pandemi COVID-19, penggunaan internet yang meningkat berkontribusi pada lonjakan kasus ini, dengan laporan menyebutkan kenaikan hingga 348% dalam pelecehan seksual online. Kasus Kekerasan Gender Berbasis Online (KGBO) di Indonesia terus meningkat, dengan laporan menunjukkan lonjakan empat kali lipat pada tahun 2024 dibandingkan tahun sebelumnya.

  • Pada tahun 2024, tercatat 480 kasus KGBO, meningkat dari 118 kasus pada tahun 2023.
  • Korban terbanyak berusia 18-25 tahun, dengan 272 kasus (57%).
  • Anak-anak di bawah 18 tahun juga menjadi korban, dengan 123 kasus (26%).

            Hal ini menunjukkan bahwa meskipun kekerasan terjadi di ruang digital, dampaknya sama seriusnya dengan kekerasan di dunia nyata. Salah satu isu utama dalam penanganan KGBO adalah kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat mengenai hak-hak digital dan dampak dari kekerasan berbasis gender di dunia maya. Banyak korban yang enggan melapor karena stigma sosial dan ketidakpastian mengenai proses hukum. Selain itu, budaya patriarki yang kuat di Indonesia menyebabkan masyarakat cenderung meremehkan KGBO, menganggapnya sebagai persoalan sepele. Banyak juga bukti digital yang seringkali bersifat sementara dan mudah dimanipulasi juga menyulitkan proses penyidikan.

 Dampak 

            KGBO membawa dampak serius dalam berbagai aspek kehidupan korban. Dari segi psikologis, korban sering kali mengalami trauma, kecemasan, hingga depresi. Dalam aspek sosial, stigma negatif dari masyarakat sering kali membuat korban merasa malu atau enggan berbicara tentang pengalaman mereka. Di sisi ekonomi, beberapa korban kehilangan pekerjaan atau mengalami kerugian finansial akibat penyebaran konten yang merugikan nama baik mereka.

Hukum dan Kode Etik Komunikasi

            Kasus Kekerasan Gender Berbasis Online (KGBO) di Indonesia memiliki dasar hukum yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi salah satu landasan utama dalam menangani kasus ini, khususnya Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) yang mengatur larangan penyebaran konten pornografi dan pencemaran nama baik melalui media elektronik. Selain itu, KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), Pasal 310 dan 311, Pencemaran nama baik dan Pasal 368, Pemerasan melalui ancaman penyebaran konten intim. Sementara itu, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) memberikan penguatan hukum dengan mengatur secara khusus tentang kekerasan seksual, termasuk yang dilakukan di ruang digital. Regulasi ini bertujuan melindungi korban dari segala bentuk eksploitasi, ancaman, dan intimidasi berbasis gender.

            Dari sudut pandang kode etik komunikasi, tindakan KGBO melanggar prinsip-prinsip etis dalam komunikasi, seperti penghormatan terhadap privasi individu dan tanggung jawab sosial. Kode Etik Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), misalnya, mengatur agar media tidak mempublikasikan informasi yang dapat merendahkan martabat seseorang, termasuk dalam kasus kekerasan gender. Dalam ruang digital, pelanggaran seperti penyebaran konten pribadi tanpa izin tidak hanya menyalahi etika tetapi juga mencederai nilai-nilai kebebasan berekspresi yang bertanggung jawab. Selain itu, para pelaku komunikasi, termasuk pengguna media sosial, seharusnya mematuhi prinsip etis untuk tidak menyebarluaskan atau mendukung konten yang merugikan korban. Hal ini sesuai dengan konsep literasi digital yang mengedepankan empati, kesadaran hukum, dan etika dalam berkomunikasi di dunia maya.

             Terakhir, untuk mencegah KGBO diperlukan langkah-langkah komprehensif, termasuk edukasi digital yang luas agar masyarakat, terutama perempuan, memahami cara melindungi diri di dunia maya. Penegakan hukum harus diperkuat dengan memberikan pelatihan kepada aparat agar lebih memahami kasus ini. Kampanye publik juga perlu dilakukan untuk meningkatkan kesadaran tentang bahaya KGBO. Selain itu, dukungan kepada korban melalui layanan konseling gratis, bantuan hukum, dan pemulihan reputasi digital sangat penting. Membantu korban menghapus konten berbahaya dari internet dapat mengurangi dampak negatif jangka panjang. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun