Mohon tunggu...
deatanyy
deatanyy Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Islam Indonesia

Saya Dea Septiani mahasiswa Hubungan Internasional di Universitas Islam Indonesia, Fakultas Psikologi Sosial dan Budaya. Saya memiliki ketertarikan mendalam pada pengalaman dan pengaruh media sosial, khususnya dalam konteks politik digital. Dengan fokus pada dinamika komunikasi global, Saya mengeksplorasi bagaimana media sosial membentuk opini publik dan menjadi alat strategis dalam hubungan internasional.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketegangan Polarisasi dan Disinformasi dalam pesta Demokrasi Digital pada pemilu 2024

12 Januari 2025   22:00 Diperbarui: 12 Januari 2025   22:10 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kebebasan adalah pilar utama demokrasi di era digital. Namun, platform media sosial justru mendorong polarisasi, yang mengganggu keseimbangan sosial. Polarisasi ini menciptakan jurang yang semakin dalam antar kelompok masyarakat, terutama dalam hal masalah sosial-politik pemilu 2024. 

Artikel ini membahas bagaimana polarisasi muncul, bagaimana hal itu
mempengaruhi kehidupan demokratis di pemilu 2024, dan apa yang harus dilakukan untuk
mengatasi hal itu.

Pemilu 2024 di Indonesia mempertemukan tiga tokoh besar: Prabowo Subianto (bersama Gibran Rakabuming), Anies Baswedan (bersama Muhaimin Iskandar), dan Ganjar Pranowo (bersama Mahfud MD). Setiap pasangan membawa visi yang berbeda, mempertegas polarisasi yang semakin tajam di masyarakat.
Perbedaan ideologi ini mempengaruhi kampanye dan narasi di media sosial. Tokoh seperti Prabowo dan Anies mengusung nilai-nilai nasionalisme dan agama yang menjadi bahan perdebatan sengit di kalangan pendukung masing-masing. Sementara itu, Ganjar, yang didukung oleh PDIP , mengusung konsep keberlanjutan pemerintahan Jokowi. Media sosial turut memperburuk polarisasi dengan penyebaran informasi yang seringkali tidak terverifikasi. 

Isu agama dan nasionalisme menjadi pemicu utama perpecahan, menciptakan dua kubu besar yang saling berlawanan. Di tengah euforia demokrasi ini, pemilih harus cermat dalam menilai informasi dan menjaga ruang diskusi yang sehat.

Di era internet, polarisasi sosial-politik telah menjadi ancaman besar bagi demokrasi. Fenomena ini, yang diperburuk oleh algoritma media sosial, menyebabkan perbedaan pendapat dan. menghentikan diskusi konstruktif. Dalam situasi di mana masyarakat terjebak dalam filter bubble, mereka cenderung hanya menerima informasi yang mendukung keyakinan mereka dan tidak memiliki kesempatan untuk melihat perspektif lain. Ini menyebabkan ruang diskusi yang tidak teratur, di mana pendapat yang berbeda sering dianggap sebagai ancaman daripada kesempatan untuk berbicara.
Selain itu, disinformasi yang menyebar di media sosial hanya memperburuk keadaan. Dalam konteks pemilihan 2024, cerita tentang kandidat tertentu yang dianggap sebagai "anti-Islam" atau "pro-asing" telah menimbulkan ketegangan di kalangan masyarakat. Studi menunjukkan bahwa informasi palsu menyebar lebih cepat daripada kebenaran, terutama cerita yang mengandung emosi seperti ketakutan atau kemarahan. Polarisasi yang didorong oleh disinformasi ini mempengaruhi hubungan sosial komunitas dan pilihan politik individu. Pada dasarnya, perbedaan pendapat diperlukan untuk mendorong kebijakan baru. Namun, stabilitas politik dan sosial dapat terganggu ketika ketidaksepakatan berkembang menjadi konflik yang tidak dapat diselesaikan. Indonesia, sebagai negara yang berprinsip, memerlukan cara yang lebih rasional untuk menangani perbedaan ini. Polarisasi yang tidak terkendali dapat menyebabkan perbedaan yang sulit dijembatani dan mengancam keseimbangan sosial yang penting bagi bangsa.

Sebagai orang yang percaya bahwa polarisasi tidak benar-benar mengancam demokrasi. Perbedaan pendapat adalah hal yang wajar dalam demokrasi yang baik, dan hal ini dapat meningkatkan diskusi politik. Polarisasi dianggap sebagai tanda bahwa masyarakat ikut serta dalam proses politik. Orang-orang yang mendukung pandangan ini mengatakan bahwa meskipun media sosial seringkali berfungsi sebagai sumber disinformasi, mereka juga memberi orang kesempatan untuk menyatakan pendapat mereka, mendukung masalah minoritas, dan menentang cerita tertentu yang mendominasi. Selain itu, perbedaan ideologi dan politik sering kali menghasilkan kebijakan baru. Berkolaborasi ide-ide antara kandidat atau partai dapat menghasilkan solusi yang lebih beragam untuk masalah negara. Sebagai contoh, masalah progresif seperti keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, dan reformasi pendidikan muncul selama kampanye Pemilu 2024 menunjukkan bahwa polarisasi tidak selalu merugikan.
Meskipun demikian, argumen ini memiliki batasan. Polarisasi dapat merusak hubungan sosial dan menurunkan kepercayaan pada demokrasi jika tidak ada kontrol atas penyebaran informasi yang tidak valid. Percakapan yang konstruktif membutuhkan basis data yang solid dan pengakuan terhadap perbedaan daripada diskusi tanpa arah yang diperburuk oleh hoaks dan
ujaran kebencian.

Aksi kolektif yang melibatkan pemerintah, masyarakat, dan platform teknologi diperlukan untuk mengatasi polarisasi. Untuk meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya memverifikasi informasi, pemerintah harus menerapkan program literasi digital. Selain itu, peraturan yang lebih ketat harus diterapkan untuk mencegah penyebaran hoaks tanpa mengorbankan kebebasan berekspresi. Pengguna media sosial harus proaktif dalam menjaga etika diskusi dan menghormati pendapat yang berbeda, serta menyesuaikan algoritma untuk mendorong keberagaman informasi dan menekan konten provokatif. Platform media sosial juga harus lebih transparan dalam mengelola algoritma mereka. Masyarakat harus meningkatkan budaya diskusi yang inklusif. Perbedaan pendapat tidak seharusnya menjadi jurang; sebaliknya, itu seharusnya menjadi kesempatan untuk saling memahami dan bekerja sama untuk kepentingan bersama.
Meskipun demokrasi Indonesia menghadapi banyak tantangan di era komputer dan internet, ia dapat terus berkembang dengan kerja sama yang positif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun