Mohon tunggu...
Desi Handayani Sagala
Desi Handayani Sagala Mohon Tunggu... Editor - Gov Public Relations | Social Causes Enthusiast

Seorang Praktisi Kehumasan Pemerintah yang mencoba menerangkan isu-isu kebijakan yang berkaitan dengan dampak sosial sekitar berdasarkan pengalaman dan pengamatan lewat tulisan dari kaca mata individu.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Sebaiknya Jangan Bandingkan ini Kalau Melamar CPNS

21 Agustus 2024   19:24 Diperbarui: 25 Oktober 2024   15:37 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin kata kunci CPNS sempat trending di platform X beriringan dengan tanggal pendaftaran dibuka pada 20 Agustus 2024 yang diumumkan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Ternyata pembahasannya didominasi dengan keluhan netizen menyoal desakan keluarga yang meminta anak/saudara/kerabatnya ikut seleksi hingga menghiasi grup-grup keluarga, kata mereka tampak sensi.

Rame-rame muncul keluhan yang terkesan sudah nyaman di swasta dengan gaji berdigit-digit hingga merasa terganggu dengan nasihat diminta ikut seleksi CPNS. Bahkan tidak sedikit yang membuat utasan di platform lainnya, mengisyaratkan keluhan apa hebatnya jadi PNS, merasa lelah dengan standar old-school kesuksesan yang kerap dikaitkan dengan profesi yang sering dihujat namun berbondong-bondong di-apply ini.

Ada sudut pandang menggelitik dari fenomena keluhan musim CPNS tahun ini, terutama menyangkut pihak yang mengaku sudah mapan secara finansial lewat pekerjaannya saat ini dan mencoba mempertanyakan perbandingannya, jika pada akhirnya beralih profesi menjadi PNS. Melontarkan dengan kesan mempertanyakan benefit jadi PNS padahal sudah dibayar berdigit-digit dengan profesinya sekarang. Membuka ruang untuk mengumpulkan beragam opini miring yang menyoroti profesi PNS, dengan mengesankan apakah seseorang sepertinya yang sudah bekerja dengan gaji berdigit-digit LAYAK beralih pekerjaan sebagai PNS.

Pertama, jika memang sudah mapan dengan gaji berdigit-digit dengan segala kenyamanan yang didapat, kenapa masih mempertanyakan lagi jenis pekerjaan yang sudah melekat dengan stigma "Jangan jadi PNS kalau mau kaya" atau bahkan membandingkan situasinya saat ini dengan proyeksi situasi yang akan dihadapi jika menjadi PNS. Tampaknya mempertanyakan tetapi justru terkesan arogan sekaligus tidak logis dan cenderung utopis. Bukankah seharusnya justru yang jadi pertanyaan itu ketika seseorang dengan profesi sebelumnya, di mana faktor kesejahteraannya yang jauh lebih baik tetapi memilih beralih jadi PNS. Ibarat mempertanyakan sesuatu yang bahkan tidak dapat disebut sebagai perbandingan.

Kedua, dalam konteks pekerjaan, satu hal dengan hal lainnya bisa disebut pilihan ketika perbandingannya SETARA. Ketika profesi yang dijalani sudah memberi kepastian jaminan kesejahteraan yang jauh melampaui dari profesi PNS, kenapa harus dibandingkan - toh ternyata tidak apple to apple. Kecuali alasannya bukan penghasilan, ini baru beda cerita.

Ketiga, karena tidak semua orang yang bekerja di swasta merasa mapan secara finansial atau nyaman secara pekerjaan bisa menjadi salah satu alasan beralih profesi sebagai PNS. Bisa jadi institusi pemerintah yang disasarnya memang lebih menawarkan kesejahteraan dari segi hitung-hitungan sesuai preferensi pribadinya. Termasuk menyangkut kenyamanan bekerja menurut versinya, misalnya bekerja di lokasi kampung halamannya atau bekerja di unit instansi yang tidak memberlakukan jam kerja malam dan berbagai alasan lainnya.

Terakhir, keputusan ada di tangan sendiri sehingga tidak perlu mengkambing-hitamkan orang sekitar. Kategori usia  pekerja yang notabene rata-rata 18 tahun ke atas, bukan lagi sekelompok anak-anak bahkan remaja yang perlu izin orang tua dan keluarga untuk memutuskan akan bekerja apa. Perkara stigma balik lagi soal persepsi - tidak perlu digeneralisasi seakan menganggu prinsip pribadi. Putuskan menurut pertimbangan sendiri tanpa perlu mendiskreditkan pandangan orang lain. Buruk di mata sendiri bisa jadi cita-cita bagi yang lain. Tidak layak di mata sendiri bisa jadi hal yang paling bernilai bagi orang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun