Mohon tunggu...
Desi Handayani Sagala
Desi Handayani Sagala Mohon Tunggu... Editor - Gov Public Relations | Social Causes Enthusiast

Seorang Praktisi Kehumasan Pemerintah yang mencoba menerangkan isu-isu kebijakan yang berkaitan dengan dampak sosial sekitar berdasarkan pengalaman dan pengamatan lewat tulisan dari kaca mata individu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Diduga Selingkuh, Pantaskah Status PNS Atlet Peraih Medali Emas Dicabut?

30 Januari 2018   18:28 Diperbarui: 15 Februari 2018   21:21 2640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: BOLASPORT.COM/FERI SETIAWAN

Menyoroti pemberitaan terhadap rencana sanksi pemberhentian sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang dialami oleh atlet angkat besi peraih medali emas SEA Games Kuala Lumpur 2017, Deni atas tuduhan perselingkuhan yang mencuat lewat akun Facebook isterinya, Wiwi Sofianty memunculkan pertanyaan tentang bagaimana sebenarnya ketentuan disiplin yang mengatur profesi Aparatur Sipil Negara (ASN).

Konsekuensi bakal pemberhentian CPNS yang dialami atlet satu ini seolah mementahkan seketika prestasi yang sudah ditorehkannya kepada negara. Diangkat menjadi CPNS atas prestasinya namun harus menerima ancaman pemberhentian atas konsekuensi kehidupan pribadinya.

Katakanlah memang ini menyoal kode etik ASN yang mutlak diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang ASN dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS, namun apakah persoalan kehidupan pribadi menentukan layak atau tidaknya seseorang menjadi ASN? Terlihat adil dan kompherensif kah? Terlepas dari benar atau tidaknya Deni dalam polemik yang dialami, haruskah bayaran prestasinya terbuang sia-sia akibat persoalan rumah tangga?

Jika ini berbicara soal penegakan aturan disiplin ASN, apa kabar dengan penindakan bagi PNS yang terlibat pidana, bahkan sudah sampai putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, sudahkah bergerak menyisir mereka yang terbukti bersalah dan tidak semestinya menerima penghasilan dari pemerintah yang justru mengakibatkan kerugian negara.

Baru-baru ini Badan Kepegawaian Negara (BKN) lewat laman web resminya www.bkn.go.id menerbitkan siaran pers menyoal kasus-kasus PNS yang terbukti terlibat korupsi dan pidana laiinya, bahkan menerima putusan pengadilan yang ternyata masih berstatus aktif sebagai PNS. Pemberitaan itu mencuatkan fakta PNS dalam kurungan penjara tetapi tetap dapat menikmati penghasilan dari negara, apa tindakan Pejabat Pembina Kepegawaian instansinya? Mengapa terkesan ada pembiaran terhadap PNS yang melanggar disiplin dan bahkan kena pidana? 

Jika ingin meletakkan aturan pada porsinya seperti kasus atlet besi ini, semestinya jangan setengah-tengah. Buktikan betapa pentingnya PNS memenuhi kode etik dan disiplin profesinya. Secara normatif kewenangan pemberhentian sudah jelas diatur, lalu yang menjadi pertanyaanya di mana orang-orang yang memiliki kewenangan itu. Mengapa seolah diam dan membiarkan.

Dengungan Reformasi Birokrasi harusnya sampai pada level penyisiran PNS yang bermasalah dan terlibat kasus, tegas lakukan pemberhentian jika terbukti bersalah, apalagi jika sudah melibatkan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Kalau yang muncul pembiaran dan bahkan mengaktifkan kembali PNS yang jelas-jelas bersalah, ini justru berkontribusi terhadap kerugian negara. 

Semestinya kementerian/lembaga yang memiliki kewenangan dalam ASN bersinergi dengan institusi penegak hukum untuk menuntaskan penyakit ini. Jangan sampai ini menjadi virus yang akan ditularkan secara terus-menerus. 

Jika yang tersangkut kasus pribadi saja menerima sanksi pemberhentian, bukankah harusnya yang terbukti bersalah dalam jabatan seperti tindakan korupsi tidak layak sebagai ASN, apalagi tetap menerima penghasilan dari negara.

Jumlah PNS di Indonesia sudah mencapai 4,5 juta jiwa, jika hal semacam ini tidak dipandang mendesak, bukankah akan signifikan berdampak pada kerugian negara.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun