Mohon tunggu...
Dea Fauzia Abdillah Dea
Dea Fauzia Abdillah Dea Mohon Tunggu... -

ABSURD

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Melawan Keluhan Hidup

25 Mei 2013   22:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:01 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Mengeluh adalah sifat manusiawi. Kondisi ini muncul saat psikologis seseorang berada pada titik nadir dalam hidupnya dimana dia akan mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang bervariatif. Pernyataan itu bisa berupa tindakan provokatif, emosi dengan intensitas kekuatan yang besar (red: marah) ataupun berupa keluh kesah kepada siapapun dihadapanya, tak terkecuali Sang EmpuNya kehidupan. Banyak hal dan konsekewensi yang dapat muncul dari sikap mengeluh. Ada yang berkonotasi positif namun tak sedikit pula yang bernada negatif. Siapapun pasti pernah mengeluh dan berkeluh kesah tentang kehidupannya. Baik berupa sebuah harapan atau belas doa dari yang mengasihiNya.

Makna mengeluh sebetulnya ambigu. Berdasarkan torehan informasi yang penulis dapat bahwa sebagian besar manusia pernah mengeluh dalam hidupnya setiap harinya. Persoalannya, keluhan itu ada yang di show-up kan dan adapula yang dikonsumsi untuk diri sendiri saja. Untuk yang menshow up-kan keluh kesah hidupnya, manusia sering menuangkan hasrat keluh kesahnya lewat berbagai macam media seperti lewat seni, lagu, pertunjukan, kritikan tulisan, bahkan lewat sebuah tindakan anarkis yang berujung kriminal. Tak sedikit faktor lingkungan mempengaruhi kekuatan keluh kesah seseorang dalam prilakunya. Bagi yang bermakna positif dapat menguntungkan berbagai macam pihak dan elemen di sekitarnya, namun bagi yang merugikan itu hanya menjadi sebuah prilaku menyimpang yang akan mendatangkan banyak problematika baru. Keluhan merupakan sebuah masalah intrinsik diri. Tapi jika diperluas dengan tidak berorientasi nilai, maka itu hanya menjadi sebuah kebodohan.

Mengeluh yang hanya dikonsumsi sendiri sebetulnya adalah implementasi dari sebuah sifat  “sabar”. Hal ini cenderung bermakna postif. Tapi jika tidak diimbangi dengan proporsi dan transparansi keadaan yang jelas, maka hal ini dapat bermakna buruk bagi dirinya sendiri. Ibarat bom waktu yang sudah ditimingkan waktunya untuk meledak, kesabaran itu lambat laun akan meledak menjadi luapan hasrat yang besar. Luapan tersebut adalah akumulasi keluhan yang terbendung sabar, namun tidak mampu terkunci rapat dan akhirnya terbuka. Ini adalah sebuah kewajaran bagi manusia. Permasalahannya adalah keluhan ini jangan sampai menghancurkan diri  sendiri ataupun objek dihadapannya.

Mengeluh juga terkadang muncul disaat yang tidak terduga seperti ketika sebuah subjek melakukan sebuah kesalahan atau kecerobohan baik yang bersumber dari dirinya ataupun dari luar dirinya. Ini dapat diakibatkan oleh belum siapnya mental kita menaungi tantangan dan hambatan dalam kehidupan. Mengeluh harus pada tempatnya. Mengeluh haruslah indah. Gunakanlah keluhan kita ini untuk merefleksi kondisi psikologis internal agar jauh berubah ke arah progresivitas. Tuhan menerima keluhan kita sebagai makhluk-Nya..LIFE MUST GO ON  !!!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun