Diusia yang masih terbilang muda, saya sudah dihadapkan pada banyak persoalan hidup yang dikemudian hari semakin mendewasakan dan memandirikan. Sejak SMA, saya dan adik-adik sudah terpisah dengan orang tua, hidup menumpang di rumah nenek bersama dengan tante-tante yang lain. Sebagai anak tertua, tentu peran orang tua beralih menjadi tugas saya, karena selain nenek saya sudah tua dan secara ekonomi masih kekurangan, beliau juga masih harus menghidupi beberapa anak dan cucunya yang lain. Jadi rumah nenek kami ini seperti asrama. Untuk menghidupi seluruh anggota keluarga, nenek dan tante saya membuat makanan untuk dijual di toko-toko, dan sebagai pengantarnya adalah saya dan adik-adik. Kami berangkat sekolah berjalan kaki sambil mampir untuk menyetorkan dagangan ke toko-toko dan warung makan. Siang hari saat pulang sekolah, kami kembali menyisir toko-toko dan warung makan yang kami lewati pagi hari untuk mengambil sisa dagangan. Tidak ada uang saku, tidak ada uang ongkos. Jadi makan dan minum hanya di rumah dan kemana-mana berjalan kaki. Untuk pakaian sehari-hari ataupun seragam sekolah, kebetulan kami mendapat lungsuran pakaian dari saudara-saudara. Jadi kami belum pernah beli baju baru dan sepatu baru. Bila saatnya pembagian rapor, maka saya sebagai yang tertua yang berangkat ke sekolah adik-adik saya sebagai pengganti orang tua kami. Pernah adik bungsu saya mengutarakan ingin sekali rasanya rapor diambilkan oleh orang tua. Memang, sejak SD dia belum pernah merasakan bagaimana senangnya didatangi orang tua di sekolah. Saya hanya diam. Saat kuliahpun saya tempuh dengan bekerja serabutan untuk memenuhi biayanya. Kebetulan kampus kami menyediakan program bantuan untuk yang kurang mampu dengan bekerja di kantor-kantor administrasi kampus dan sebagai imbalannya kami dibayar sesuai jam/SKSnya. Dua setengah tahun saya tempuh pendidikan D2 sekertaris. Tiba saatnya saya harus bekerja setelah kelulusan. Di hari saat saya diwisuda, seorang teman memberikan informasi pekerjaan. Saya langsung menindaklanjutinya. Saya diterima bekerja di luar kota. Disini saya mengalami dilema. Disatu sisi masih ingin melampiaskan jiwa muda saya (saya tergabung dengan kelompok vocal yang saat itu sedang "bagus-bagusnya" ....katanya), disisi lain saya punya tanggung jawab yang besar untuk membiayai adik-adik saya. Akhirnya, dengan "keinginan" yang kuat untuk bisa membelikan 10 batang Silver Quin (adik bungsu saya pernah menangis, ingin sekali merasakan coklat itu walau hanya segigit), maka saya berangkat ke kota yang saya tidak pernah tahu seperti apa dan bagaimana. Berbekal uang Rp. 25,000, sebagai pegangan dan ongkos Rp. 10,000,- saya sampai di Purwokerto, terbingung-bingung mencari tempat kos, tidak punya seseorang yang dituju juga, padahal dua hari lagi saya masuk kerja. Tapi pertolongan Tuhan memang ajaib, saya disarankan oleh seseorang (malaikat?) untuk transit sementara di sebuah rumah bersalin. Sang pemiliknya, seorang bidan tua yang ramah menyuruh saya tinggal di salah satu kamar pasien, sampai saya berhasil mencari kos-kosan. Membayangkan uang Rp. 25,000,- sebulan mana bisa cukup untuk makan dan transport. Memang, kalau bukan karenaNya, semua itu jauh dari cukup. Tapi saya bisa melalui bulan pertama sampai pada saatnya penerimaan gaji pertama. Di rumah bersalin itu, saya diberi makan lengkap (pagi, siang dan malam) tanpa harus bayar dulu. Untuk berangkat ke kantor bisa menggunakan angkutan umum yang lewat di depan rumah bersalin ini. Sore hari pulang masih bisa dilalui dengan jalan kaki. Malam haripun saya habiskan waktu dengan mendengarkan "alunan" musik alami ..... erangan dan teriakan ibu-ibu yang mau melahirkan :-D Ketika hari pertama saya masuk kerja, sebagai sekertaris, sempat gugup juga. Mata kuliah komputer yang saya pelajari di kampus masih menggunakan disket besar, dengan pengoperasian DOS dari disket, kemudian disket program baru dimasukkan. Tapi dikantor baru sudah menggunakan windows. Akhirnya lirik sana lirik sini, melihat teman-teman yang lain mengoperasikan komputer dan utak-utik plus "trial and error", sedikit demi sedikit saya bisa menguasainya. Akhirnya, setelah bertahun-tahun, pengalaman hidup yang saya alami membuahkan sesuatu yang indah. Saya merasa terberkati dengan segala kemurahanNya, hidup berbahagia bersama keluarga dan sahabat, dengan perkerjaan pertama dan "terakhir" (mungkin).yang saya tekuni hingga saat ini (betah banget ya :-D ). [caption id="" align="aligncenter" width="300" caption="ilustrasi dari: www.genasik.telkomsel.com"][/caption]
***
- Maaf ya, kok jadi seperti cuhat :-D
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H