Bagaimana sih rasanya ditinggal sahabat untuk selamanya? Sangat berduka pastinya, maunya menangis sepanjang hari. Ditawari makan dan minum pun nggak selera. Seperti itulah saya waktu masih duduk di bangku SD, saat si Tegi, kucing peliharaan pertama saya mati. Dari si Tegi sakit sampai sekaratnya, semua masih membekas di ingatan saya. Kucing kecil yang tak terawat itu memang menghabiskan akhir hidupnya di rumah saya. Meskipun bukan pemilik Tegi sepenuhnya, karena dia datang saat sudah sakit, namun saya merawatnya dengan harapan bisa memulihkan kesehatannya dan menjadikannya binatang peliharan saya.
Meski ditentang oleh orang tua yang tidak mau rumahnya kotor, saya tetap nekad. Di atas atap saya buatkan rumah-rumahan dari kardus agar Tegi terlindung dari panas dan hujan. Setiap pulang sekolah, selama beberapa saat saja, saya selalu menyempatkan diri naik atap untuk memberi makanan dan susu untuknya. Namun pada akhirnya, sakit si Tegi membawanya pergi jauh berpisah dari saya. Sambil menangis sesenggukan, saya membawa turun Tegi yang sudah kaku. Sudah ditinggal pergi Tegi, dimarahi orang tua pula. Mereka sangat tidak setuju saya memelihara kucing. Menurut mereka, kucing adalah binatang bebas, yang meski sudah diajari tetap saja mencuri dari si pemiliknya.
[caption id="attachment_174880" align="aligncenter" width="640" caption="Tegi dulu mirip ini"][/caption]
Sejak Tegi mati, orang tua saya menyadari apa yang menjadi keinginan saya. Mereka mengijinkan dengan memberi seekor anak anjing chow-chow dengan bulu hitam keriting. Dengan pesan agar rajin merawatnya, saya dan kedua adik laki-laki saya pun dengan semangat membara membagi jadwal merawat si Bonny, nama anjing itu. Berbagai keterampilan kami ajarkan, dari berdiri sampai bersalaman, si Bonny bisa melakukannya, dengan iming-iming makanan tentunya hehehe...
Belum genap setahun merawat Bonny, kami harus kembali merasakan kehilangan yang amat sangat. Suatu siang si Bonny dibawa beberapa orang dalam keadaan sekarat. Mereka bilang sebuah mobil menabraknya. Bulu hitam mengkilapnya sudah kotor dengan darah dan tanah. Kami hanya bisa menangisi, mengiringi satu demi satu nafas Bonny yang terhembus. Sampai akhirnya berhenti sama sekali, dan tangis kami makin meledak.
Karena kehilangan si Bonny, seorang paman menghadiahkan kami seekor anak anjing, lagi, berwarna hitam. Namun kali ini dari jenis Peking. Kami namakan si Peki. Merawat Peki mengingatkan kami saat kami merawat Bonny. Kami sangat menjaganya agar dia tidak berlari ke jalan raya, melatihnya berbagai keterampilan, dan tentunya bermain bersamanya mengisi hari-hari kami. Dan kembali kami harus kehilangan. Kali ini Peki tidak pulang ke rumah. Entah dia pergi kemana dan dibawa oleh siapa, kami tidak tahu.
Setelah sempat trauma memiliki binatang peliharaan, kala SMA, kembali saya mendapat hadiah seekor anak anjing kecil yang berbulu putih dan gemuk. Anjing campuran gembala jerman dan lokal ini dinamai Rendi (duh maaf kalau ada yang bernama sama :D). Dengan bekal pengalaman memelihara anjing, saya merawat dan melatihnya. Rendi tumbuh menjadi besar dan sangat pandai. Dengan kepandaiannya pula, rumah saya terselamatkan dari pencuri. Memang benar apa yang dikatakan bahwa anjing itu adalah binatang yang paling setia. Ini saya dapatkan dari Rendi. Dia sangat bisa mengenali saya walau dari jarak sekian ratus kilometer. Setiap pulang sekolah, dia selalu siap menjemput saya dari kejauhan. Bisa dibayangkan bagaimana teman-teman seperjalanan pulang saya akan lari terbirit-birit manakala dari kejauhan tiba-tiba datang seekor anjing besar. Dia pun tahu bila saya sedang merasa sedih dan sendiri (sebab saat itu saya jomblo :D) , dia akan mendekati dan menggosok-gosokkan tubuhnya ke kaki saya, seakan mengingatkan kalau dia menemani saya. Lucu memang. Yang paling mengesankan adalah ketika saya, yang kala itu masih tinggal di Cimahi, bepergian ke Bandung. Rendi yang terkunci di rumah ternyata bisa membuka slot jendela, keluar dan berlari menyusuri jejak saya. Padahal saya pergi naik angkutan umum. Dengan terheran-heran, saya yang sedang ada di Bandung, melihat sesosok anjing putih dan besar menyalak di depan saya. Suaranya tidak asing bagi saya. Dan itu Rendi. Dia menemukan saya di Bandung. Luar biasa sekali.
Lagi-lagi saya harus berpisah dengan binatang kesayangan. Karena suatu hal, saya harus pergi meninggalkan kota kelahiran dan merantau di kota lain. Rendi dititipkan pada saudara dan sejak itu saya tidak pernah dengar lagi kabar tentangnya. Menurut saudara, awal-awal ditinggal, Rendi terlihat sedih dan tidak berselera makan. Entah bagaimana kejadiannya, Rendi melarikan diri dari rumah saudara. Mungkin berniat mencari saya. Sejak saat itu dia hilang entah kemana.
[caption id="attachment_174888" align="aligncenter" width="640" caption="3 anak kucing"]
Saat ini saya memiliki 6 ekor kucing dan 1 ekor anjing. Meski semua itu kucing lokal, namun saya tidak melewatkan untuk memberinya vaksin. Demi pencegahan dan kesehatan kucing juga. Bahkan, beberapa kucing dewasa yang betina saya suntik KB secara rutin. Sebabnya kewalahan juga kalau harus selalu punya bayi kucing hihihi. Juga dengan anjing saya, dia diberi vaksin dan vitamin serta obat cacing demi menjaga kesehatannya. Dari ke enam kucing tersebut, hanya 3 yang selalu setia ada di rumah sampai saat ini. Si Billy, Si Deedee dan si Ting Ting (maaf kalau ada yang namanya mirip yaaa) sekarang juga menjadi teman bermain putri kecil saya, Khina. Dan Shiro, anjing saya, menjadi teman setia ayah saya yang tinggal sendirian di rumahnya.
[caption id="attachment_174882" align="aligncenter" width="500" caption="Khina dan Coki"]