Mohon tunggu...
Deassy M Destiani
Deassy M Destiani Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa Magister Psikologi, Pendidik, Ibu Rumah Tangga, Pebisnis Rumahan

Seorang Ibu dua anak yang suka berbagi cerita lewat tulisan..

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Menakar Stress Sesuai Dosis

24 Desember 2024   20:02 Diperbarui: 24 Desember 2024   20:02 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



Baru-baru ini, seorang pemuda usia 21 tahun yang kuliah di sebuah universitas di Jember nekad terjun dari lantai 8 hingga akhirnya nyawanya tak terselamatkan. Menurut keterangan ayah korban,  almarhum sempat berganti kampus dua kali dengan  alasan tidak kuat adanya tekanan. Teman satu angkatan almarhum menggambarkan bahwa almarhum adalah sosok yang tertutup, tidak banyak bicara maupun bergaul. Meski demikian, almarhum cukup aktif di organisasi kampusnya. Seorang kakak kelas yang mengenal almarhum mengatakan bahwa almarhum terlihat mudah grogi dan stress saat mendapat project dari kampus,  namun kakak kelas menganggap  wajar karena itu kegiatan pertama untuknya.  

Ngobrolin stress, setiap orang pasti pernah mengalami stress. Stress adalah reaksi tubuh terhadap tekanan, ancaman, atau situasi baru yang mengharuskan seseorang beradaptasi. Stres merupakan bagian alami dari kehidupan. Jadi stress itu adalah tanda bahwa kita masih hidup di dunia. Lalu mengapa ada orang yang stress bisa punya keinginan mengakhiri hidupnya?  Nah ini ibaratnya kita sedang memegang satu botol air mineral 600 ml sambil tangannya ditekuk membentuk segitiga siku sambil berdiri. Kalau hanya pegang sejam dua jam masih bisa tahan. Coba kalau 8 jam, 24 jam, 3 hari, sebulan? Ada yang kuat gak kira-kira? Dua jam saja udah mulai kesemutan, tiga jam udah tremor, kram dan gak nyaman. Apalagi berhari-hari.  

Contoh botol mineral tadi menunjukkan bahwa stress itu bisa hinggap pada diri kita kapan saja. Hanya saja kita harus tahu waktu yang tepat menaruh botol  sebelum tangan  jadi kram, tremor bahkan sampai pingsan. Menurut (Gadzella, Baloglu, Masten & Wang, 2012), stress  terbagi menjadi dua kategori  yaitu Eustress (positive stress)  dan Distress (negative stress). Eustress adalah stress yang memotivasi, contohnya ketika ikut lomba pasti persiapannya bikin stress tapi stress itu memotivasi kita untuk berlatih, belajar dan jadi yang terbaik. Ketika eustress (stres yang berdampak baik) dialami seseorang, maka terjadilah peningkatan kinerja dan kesehatan (Greenberg, 2008). Sebaliknya ketika seseorang mengalami distress (stres yang berdampak buruk), maka mengkibatkan semakin buruknya kinerja, kesehatan dan timbul gangguan baik fisik maupun psikologis.

Stress kuliah atau belajar seharusnya masuk eustress namun banyak orang yang kemudian memilih mengakhiri hidupnya dengan alasan tekanan akademik. Mengapa stress akademik bisa jadi distress atau stress yang negatif? Sebab stress yang awalnya positif ini tidak dikelola dengan baik. Misalnya ada tugas kuliah sebagai pengganti Ujian Akhir Semester (UAS) namun harus membuat penelitian yang membutuhkan waktu sekitar 2 sampai 3 bulan. Ketika waktunya tiba, tugasnya belum selesai. Lalu panik, apalagi melihat teman-temannya sebagian besar sudah mengumpulkan. Seharusnya untuk mengelola stressnya ini dia menghadap pada dosennya untuk meminta tambahan waktu. Sayangnya dia berpikir dosennya tidak akan mau memberikan dia waktu lagi, padahal belum ketemu.

Persepsi dari pikirannya bahwa dosen akan marah dan memberi nilai jelek membuat dia cemas. Setiap malam gak bisa tidur, gak enak makan, jadi gak happy. Orang tuanya telpon menanyakan kabarnya malah tambah panik. Apa yang harus dikatakan pada orang tua kalau nilai jelek? Padahal nilai belum keluar, orang tua juga  telpon sebetulnya bertanya kabar bukan nilai.  Mau tanya teman gak ada yang peduli. Tanya dosen sibuk sendiri, tanya pacar gengsi. Stressnya makin bertambah tak terkendali. Akhirnya mengambil tali buat gantung diri. Nah inilah bahayanya jika stress yang awalnya sesuatu yang positif kemudian menjadi stress yang negatif karena masalahnya tidak terselesaikan.

Sejatinya, manusia memerlukan stress dalam dosis yang normal. Jumlah stres yang wajar atau normal itu sangatlah perlu karena ternyata bisa mengaktifkan kinerja otak. Penelitian Schwabe and Wolf (2012) menemukan bahwa stres bisa menyebabkan berfungsinya beberapa sistem memori pada otak manusia. Risetnya membuktikan bahwa setelah seseorang menerima stres, sistem berbasis corpus striatum (pusat saraf yang berada di dalam otak hemisphere dekat thalamus) dapat menggeser sistem berbasis hippocampus (bagian sistem limbik yang bertugas penyimpan memori) untuk membantu kinerja tugas-tugas yang ada di dalam otak. Bahasa sederhananya, dengan adanya stres yang diterima, kemampuan simtem-sistem yang ada di otak pun bisa bekerja dengan optimal. Ini mungkin mirip seperti situasi ketika seseorang kepepet kemudian jadi kreatif  dan produktif. Otaknya seperti ada lompatan eletrik berbunyi "cling" atau seperti "eureka" nya Archimedes ketika menemukan teori gaya apung.

Seorang ilmuwan bernama Selye (1950) meneliti secara khusus tentang stress dan hubungannya dengan aspek fisik dan  kesehatan. Menurut Selye, stress ini ada tahapannya hingga bisa berakibat buruk pada fisik dan kesehatan seseorang. Selye menggambarkannya menjadi sebuah model yang dinamakan GAS. GAS adalah singkatan dari General Adaptation Syndrome (Rice, 2012). Model ini menjelaskan ada tiga tahapan stres respons, yaitu (1) alarm (tanda bahaya), (2) resistance (perlawanan), dan (3) exhaustion (kelelahan).

Nah jadi menurut model ini, tubuh kita itu sudah dilengkapi dengan alarm stress loh. Alarm ini muncul ketika ada suatu kondisi yang tidak diinginkan dan terjadi perbedaan antara kenyataan yang sedang terjadi dan situasi yang diharapkan (Ursin & Eriksen, 2004). Sebagai akibatnya, tubuh menerima rangsangan dan secara alami mengaktifkan reaksi flight-or fight karena adanya kondisi yang berpotensi mengancam kestabilan kondisi tubuh (Lyon, 2012). Alarm yang dibunyikan pada tahap pertama ini, secara fisik  akan timbul seperti sakit di dada, jantung berdebar-debar, sakit kepala, disfagia (kesulitan menelan), kram, dan lain sebagainya (Rice, 2012).

Masuk pada tahapan kedua adalah resistance (perlawanan). Perlawanan terjadi saat alarm yang berbunyi di tahap satu tadi tidak kunjung berakhir alias bunyi terus. Dampaknya, kekuatan fisik pun dikerahkan untuk melanjutkan kerusakan-kerusakan karena rangsangan-rangsangan yang membahayakan sedang menyerang (Lyon, 2012). Akhirnya tubuh pun mulai kena penyakit, misalnya  GERD atau asam lambung yang bisa memicu kerja jantung makin berat serta sakit radang sendi karena semua badan sepertinya kaku dan linu. Jadi kalau sudah ada gejala GERD atau badan pegal linu dicek lagi, jangan-jangan ini stress nya sudah masuk tahap 2 karena belum selesai di tahap 1.

Tahap ketiga dari model GAS ini adalah ketika tubuh sudah merasakan kelelahan (exhaustion).  Kondisi ini dikarenakan tubuh benar-benar tidak sanggup lagi mengadakan perlawanan terhadap sumber stres dengan kata lain sudah mengibarkan bendera putih karena kehabisan amunisi untuk menghadapi serangan yang mengancam. Pada tahap ketiga, menurut Lyon (2012) dan Rice (2012) organ-organ tubuh bisa berhenti berfungsi atau bisa mengakibatkan kematian pada seseorang. Makanya ada sebuah kutipan yang mengatakan "No one is healthy unless they are mentaly healthy." Sehat itu bukan secara fisik semata, tapi sehat secara mental juga hal yang sangat penting bagi kesejahteraan hidup seseorang.

Pada beberapa kasus,   saat tahap tiga terjadi terkadang orang mencari pelarian ke obat-obatan terlarang. Narkoba bisa memberikan solusi semu seolah masalahnya selesai karena menaikkan hormon dopamin yang melegakan. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa narkoba bisa menaikkan hormon bahagia setara dengan 1200 dosis. Padahal jika seseorang bahagia secara alami, dosis hormon bahagianya hanya di angka 150 saja. Wajarlah jika banyak orang ketagihan dengan narkoba ini, meski efek sampingnya juga sangat merusak dan berbahaya.  Walau ada efek yang menyenangkan, please jangan pernah mau mencoba atau Anda nanti tak bisa lari darinya. Lebih baik selesaikan stress dengan menelusuri penyebabnya dan kemudian selesaikan satu persatu  agar tidak terjerumus pada coping yang salah.

Agar  bisa mengelola stress dengan baik, maka sangat penting untuk menyadari alarm stress yang ada pada diri Anda. Apabila masih dalam tahap satu segera cari pertolongan dengan bercerita pada teman atau  orang yang bisa dipercaya. Carilah seseorang yang bisa dengan sukarela mendengarkan keluh kesah Anda. Kebanyakan stress melanda karena tak punya tempat untuk bercerita. Ketika semua orang tak ada yang mau mendekat saat Anda butuh pertolongan untuk didengarkan, maka stress bisa naik level ke tahap 2 dan seterusnya.

Kesimpulannya, Tidak semua stres berdampak buruk kepada manusia, ada juga stres yang bisa berkontribusi secara positif. Dampak yang ditimbulkan stres terhadap seseorang  sangat beragam. Ketika jumlah sumber stres begitu banyak, dan kemampuan untuk berurusan dengan stres sedikit, maka stres akan memberikan dampak negatif (distress). Sebaliknya,  apabila sumber stres dalam kapasitas yang cukup dan sebanding dengan kemampuan, maka stres akan berdampak positif terhadap kesehatan dan kinerja seseorang (eustress).

Anda juga perlu belajar  memahami tanda tanda yang ditimbulkan oleh stres dengan  baik. Hal tersebut bertujuan agar terhindar dari dampak stres yang semakin buruk terhadap fisik maupun psikologis. Semoga setelah membaca tulisan ini, stress Anda bisa menjadi Eustress yang positif dan membuat Anda semakin termotivasi bukan merasa gagal sendiri. Takarlah stress sesuai dosis yang diperlukan. Jika sudah berlebih segera cari pertolongan. Sayangi diri Anda, sebab Anda berhak untuk bahagia.


Salam..

Deassy M Destiani

Referensi :

Gadzella, B. M., Baloglu, M., Masten, W. G., & Wang, Q. (2012). Evaluation of the student life-stress inventory-revised. Journal of Instructional Psychology, 39(2), 82-91.

Greenberg, J. S. (2006). Comprehensive Stress Management 10th Edition. New York, USA: McGraw-Hill Compenies, Inc.

Schwabe, L., & Wolf, O. T. (2012). Stress modulates the engagement of multiple memory systems in classification learning. The Journal of Neuroscience, 32(32), 11042-11049. http://dx.doi.org/ 10.1523/ JNEUROSCI.1484-12.2012 Serido, J., Almeida, D. M., &

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun