[caption id="attachment_162968" align="alignleft" width="300" caption="Aceh Pasca Tsunami"][/caption]
Masih ingatkah tentang tragedi dahsyat di ujung Sumatra, Bencana gempa bumi yang berkekuatan 8,9 skala Richter yang diikuti gelombang tsunami yang melanda sebagian besar kawasan pesisir NAD ,menelan banyak korban dan melumpuhkan semua aktifitas penduduk, selain itu dampak yang dihasilkan gelombang tsunami telah meluluhlantakan bumi NAD. Dari data Associated Press, jumlah korban yang meninggal/hilang diperkirakan sebesar 236.116 orang dan taksiran kerugian material mencapai Rp 41,401 triliyun (Bappenas) atau sekitar 4,5 milyar US dolar (2,2 % PDB Indonesia atau 97 % PDRB NAD). Selain korban manusia, bencana tsunami juga melumpuhkan hampir seluruh pelayanan dasar di lokasi-lokasi yang terkena bencana. Penduduk yang selamat sangat kekurangan pelayanan dasar seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, keamanan, sosial dan pemerintahan. Lumpuhnya pelayanan dasar ini disebabkan hancurnya sarana dan prasarana dasar seperti rumah sakit, sekolah, dan kantor pemerintahan serta kurangnya sumberdaya manusia. Infrastruktur juga tidak luput menjadi korban keganasan bencana gempa dan tsunami. Infrastruktur sebagai penopang aktivitas sosial-ekonomi masyarakat banyak yang tidak berfungsi dengan tingkat kerusakan yang cukup parah.
Secara keseluruhan, bencana telah menghancurkan sistem sosial-ekonomi masyakat NAD, khususnya di lokasi-lokasi bencana. Aktivitas produksi, perdagangan dan perbankan mengalami stagnasi total dan perlu pemulihan dengan segera. Sistem transportasi dan telekomunikasi juga mengalami gangguan yang serius dan harus segera ditangani agar lokasi-lokasi bencana dapat segera diakses.. Sehingga perlu adanya penangganan rekonstruksi besar-besaran yang mamapu mengembalikan kondisi kota ini untuk kembali pulih dari kelumpuhan akibat dampak tsunami tersebut. Namun, dalam rekonstruksi kembalinya tidaklah mengalami hal yang mudah. Butuh banyak campur tangan dan bantuan dari segala pihak baik itu nasional maupun internasional.
Posisi strategis Aceh yang berbatasan langsung dengan beberapa Negara tetangga dan didukung dengan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan aturan Pelaksanaannya dengan Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2010 tentang Kerjasama Pemerintah Aceh dengan Lembaga/Badan di Luar Negeri pada hakikatnya menjadi peluang untuk melakukan kerjasama dalam berbagai bidang yang mendukung pembangunan Aceh. Namun peluang ini masih belum dapat dimanfaatkan dengan optimal. Pembiayaan pembangunan Aceh juga masih tertumpu pada pendanaan yang bersumber dari Pemerintah yang berasal dari APBN sebesar 41 triliun, sehingga kebutuhan pendanaan pembangunan dalam jumlah besar seperti infrastruktur tidak dapat dilaksanakan dengan maksimal. Pendanaan yang sangat besar dari dunia Internasional mencapai US$ 7,1 miliar hanya dibatasi sampai 2005-2009. Sumber pendanaan untuk pembangunan Aceh yang berasal dari Pendapatan Asli Aceh (PAA dan PAK), Dana Perimbangan, Dana Otonomi Khusus yang sesuai dengan UU PA, dan lain-lain pendapatan diperkirakan berjumlah Rp 28,2 Triyun (US$ 3,1 Milyar) yang sah selama ini belum terintegrasi secara strategis dan optimal.
Perinciannya terdiri dari kerusakan dan kerugian akibat tsunami yang diperkirakan sebesar US$ 4,5 miliar, US$ 400 juta akibat gempa bumi di dan kenaikan inflasi sebesar US$ 1,2 miliar. Besarnya tanggapan dunia internasional terhadap tsunami tidak pernah terjadi sebelumnya. Diperkirakan pengeluaran keseluruhan untuk rekonstruksi mencapai sekitar US$ 7,1 miliar. Pada akhir Oktober 2006, proyek-proyek dan program-program yang telah dialokasikan untuk rekonstruksi di Aceh berjumlah US$ 5,8 miliar. Jumlah tersebut mencapai lebih dari 80 persen dari jumlah keseluruhan program rekonstruksi yang diperkirakan. Sekarang, Pemerintah Indonesia, para donor, dan LSM memiliki kontribusi yang hampir sama, yaitu masing-masing sekitar US$ 2 miliar. Memang terbuka peluang untuk membangun kembali dengan lebih baik tapi laju inflasi yang meningkat membuat program rekonstruksi menjadi lebih mahal. Sumber dana sebesar US$ 7,1 miliar (kebutuhan sebesar US$ 6,1 miliar dan dana tambahan sekitar US$ 1 miliar) dapat digunakan untuk mengangkat Aceh keluar dari tingkat kemiskinan yang tinggi (30 persen) dan melakukan investasi dalam program pembangunan jangka panjang. Pasca tsunami, daerah ini telah mengalami inflasi yang tinggi, yaitu sebesar 40 persen .
Dalam konteks ini, peran dunia usaha untuk mendukung pendanaan pembangunan masih belum memungkinkan karena belum adanya regulasi yang mengatur peran dunia usaha dalam pendanaan pembangunan Aceh. Berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Aceh mendapatkan bantuan dana otsus selama 20 tahun terhitung sejak tahun 2008-2027 yang setara dengan 2 persen dari DAU nasional untuk jangka waktu 15 tahun pertama dan 1 persen untuk 5 tahun terakhir. Mengingat waktu pengelolaan dana yang terbatas maka perlu dikelola dengan lebih optimal dan profesional. Setelah batas rekonstruksi berakhir, maka tidak adalagi tahap rehabiliatsi di NAD. Namun perbaikan Aceh masih perlu campur tangan segala pihak dalam perbaikannnya. Sehingga hanya bertumpu pada PAD dan sumber-sumber pembiayaan lainnya. Olehkarena semua pihak harus tetap membantu tahap rekonstruksi Aceh dari segala bidang sampai Aceh kembali normal seperti kota-kota besar lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H